REFORMA AGRARIA Jalan Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat

Salam Pembebasan,

Sebagai sebuah Negara yang kaya akan sumber daya alam, Indonesia sejak menggunakan strategi pembangunan (developmentalis) mulai mengingkari kenyataan sebagai Negara agraris. Sector kapitalis yakni industri serta jasa lebih banyak dikembangkan di Indonesia. Sudah barang tentu dengan adanya hal ini maka sector sector yang menggantungkan terhadap keberadaan tanah (pertanian, perkebunan) mulai diabaikan, bahkan yag lebih ironis adalah kenyataan bahwasanya pertanian adalah sector yang digunakan sebagai penyangga sector industri. Selain itu apabila kita hubungkan dengan konteks geografis, dimana mayoritas wilayah pertanian mayoritas dikembangkan di kawasan pedesaan daripada di perkotaan, maka ada sebuah kesepakatan yakni kawasan desa berfungsi untuk menyangga kawasan perkotaan. Dalam artian, dengan adanya supply beras atau bahan makan dari kawasan perkotaan maka hal ini akan membuat satu implikasi terstabilkannya kondisi politik di kawasan perkotaan karena terpenuhi serta tercukupinya bahan makan mereka. Selain itu, pemerintah Indonesia, seperti kita tahu, gemar danrajin untuk menambah hutang hutang baru, dimana dalam Kesepakatan hutang (Letter of Intens) selalu ada penyesuaian structural (Strustural Adjusment Programs) yang harus diberlakukan oleh suatu Negara. Dimana salah satu persyaratannya adalah menimalkan peran Negara dalam memberikan subsidi terhadap kepentingan masyarakat luas. Dalam konteks pertanian, bentuk penyesuaian tersebut antara lain; 1. Pupuk pendistibusiannya dipegang oleh pihak swasta, 2. Pengurangan subsidi pupuk terhadap petani, 3. Harga jual produk pertanian diserahkan pada mekanisme pasar, 4. masih banyak lagi, namun yang paling menarik mari kita diskusikan, ha haha ha.

Dampak dari adanya problematika yang menghalangi kemajuan dari sector pertanian tersebut dapat kita atasi dengan melaksanakan pembaruan agraria. Pembaruan Agraria pada dasarnya dapat dilakukan dengan dua bentuk jenis kegiatan. Pertama; adalah dengan memberikan akses atas hak petani yang meliputi, tekhnologi, modal, serta dukungan bantuan dari Pemerintah. Kedua; melaksanakan land reform. Land reform adalah pendistribusian tanah kepada para penggarap (land Tiller) untuk mengatasi ketimpangan penguasaan, kepemilikan serta penggunaan tanah agar tercipta kesejahteraan bagi masyarakat.

Ada beberapa definisi pembaruan agraria, dimana perbedaan tersebut dapat dipicu oleh konsep ideologis yang dianut oleh sebuah Pemerintahan. Pembaruan Agraria sesuai dengan amanat Undang Undang Pembaruan Agraria tahun 1960 adalah proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan yang akhirnya akan menciptakan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam Pasal 2 TAP MPR-RI No IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Pengertian dari pembaruan agraria adalah upaya menata penguasaan tanah yang ada dengan melaksanakan redistribusi tanah (Land reform). Yang didukung dengan program lainnya dalam rangka mengembangkan produksi dan keberlanjutan pengusahaan tanah-tanah yang telah diredistribusikan tersebut melalui dukungan modal, input pertanian, sistem pemasaran, penyuluhan (acces reform). Sedangkan Pembaruan agraria menurut konsepsi Bank Dunia adalah perbaikan kondisi yang mempengaruhi sektor pertanian. Modifikasi ini dapat berupa kebijakan harga yang akan merendahkan tingkat nilai tukar guna menguntungkan sektor pertanian; meningkatkan alokasi sektor pertanian agar dapat mengembangkan ke dalam riset; eksistensi; latihan dan layanan tempat penyimpanan; membuat penyediaan fisik; seperti pupuk, ketersediaan kredit, serta menyediakan infrastuktur guna memfasilitasi produk pertanian. Land reform dalam perspektif Bank Dunia adalah sebuah program pembangunan desa. Dalam pandangan Bank Dunia redistribusi tanah guna melakukan perubahan pola distribusi hanya akan berakibat pada meningkatnya pertanian kelas menengah serta pertanian berukuran kecil hanya akan bersifat menghambat laju pertumbuhan ekonomi suatu Negara. Oleh karena itulah Negara yang merupakan pemilik dari tanah di sebuah negara haruslah dapat melakukan mengumpulkan bidang tanah yang berukuran kecil kecil tersebut untuk disatukan sehingga dapat dengan mudah tercipta konsentrasi kepemilikan tanah yang berukuran besar (land reform by grace) sehingga dapat menjadi alat produksi yang efektif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Dalam sejarah dunia membuktikan, bahwasanya sebelum meningkat ke sektor industri, kapitalisme telah menyerang sektor pertanian terlebih dahulu. Di Indonesia, fenomena tersebut dapat kita tilik dari komparasi luasan tanah yang dimiliki oleh masyarakat miskin dan menengah dibandingkan dengan luas tanah yang dimiliki kelompok priyayi. Ketimpangan ini kemudian bergeser serta bertambah akut, diera developmentalis yang bermula di era pemerintahan Orde Baru. Kepemilikan, penguasaan serta penggunaan tanah lebih didominasi oleh kelompok investor yang notabene adalah perusahaan transnasional. Perubahan strategi pembangunan yang berimplikasi terhadap sektor pertanahan dan juga pertanian, di orde baru berjalan tiga periodesasi, yakni; tahun 1967-1974; strategi yang dipakai adalah strategi yang memungkinkan swasta untuk dapat memainkan peranan aktifnya dan sistem pasar bebas yang memungkinkan pemanfaatan modal asing. Strategi ini menjanjikan hasil yang lebih cepat tanpa memerlukan perombakan sosial ekonomi yang mahal. Upaya ini berorientasi untuk menarik modal asing serta kreditor asing terutama Bank dunia, IMF dan Juga IGGI. Pilihan lain untuk mengisi kas Negara dengan melakukan eksploitasi sumber daya alam. Ada dua pilihan yang digunakan oleh orde baru untuk memulai pembangunan yakni dengan lebih menitik beratkan pada bantuan asing dan eksploitasi sumber daya alam. Implikasi hal ini adalah banyaknya peraturan dan perundangan yang dibentuk oleh orde lama dalam kebijakan pertanahan yang tidak dijalankan bahkan dibekukan. Periode kedua tahun 1974-1983, ditandai dengan meningkatkan produktifitas tanpa adanya penataan struktur. Upaya ini adalah untuk menciptakan stabilitas politik lewat terciptanya kecukupan pangan terutama untuk masyarakat perkotaan. Peningkatan produksi ini bukanlah untuk meningkatkan dan memeratakan pendapatan petani atau masyarakat pedesaan namun lebih sebagai upaya untuk mensuplai kebutuhan pokok masyarakat perkotaan yang selama ini mudah menyebabkan instabilitas. Periode yang ketiga tahun 1983-1990-an; Periode ini sering disebut sebagai era deregulasi. Diawali dengan deregulasi perpajakan, perbankan yang kemudian diikuti dengan deregulasi sektor riil lainnya.

Gagalnya serta hancurnya pelaksanaan pembaruan agraria di Indonesia telah memberikan pukulan terhadap sektor pertanian yang makin lama tanah yang diolah semakin sempit. Dari data olahan Konsorsium Pembaruan Agraria tahun 2005, kepemilikan tanah pertanian masyarakat mengalami penyusutan. Dimana hal tersebut dapat kita lihat dari berikut :

Dengan adanya penyusutan luasan tanah yang dikuasai maka hal ini berbanding lurus dengan tingkat kemiskinan yang terjadi di kawasan pedesaan. Dengan adanya transfer tekhnologi serta administrasi pertanahan, petani serta kelompok masyarakat miskin harus bersiap siap untuk kehilangan tanahnya, kemudian dalam konteks ketahanan pangan, dengan makin sempit serta hampir tidak dilaksanakannya bentuk perhatian Negara terhadap nasib petani maka kedaulatan pangan di Indonesia sulit untuk diwujudkan. Kenyataan yang lebih ironis adalah Negara kita untuk memenuhi kebutuhan akan pangan khususnya beras haruslah melakukan import.

Ada beberapa prasyarat agar pembaruan dapat terwujud :

1. Kemauan politik dari elit politik

2. Organisasi tani yang kuat

3. Data kondisi agraria yang lengkap dan akurat

4. Militer yang mendukung pembaruan agrarian

Pengalaman sejarah Indonesia membuktikan bahwasanya, satu satunya Pemerintahan yang berpikir panjang dalam artian melihat melihat strategi pembaruan agraria merupakan agenda penting untuk menuju kesejahteraan dan sebuah prasyarat untuk tinggal landas ke era industrialisasi adalah era pemerintahan Soekarno (eehm, kawan GMNI semoga bahagia Nabinya saya sebut, ha haha ha). Serius lagi, Namun sejak orde baru, beberapa prasyarat untuk mewujudkan pembaruan agraria tidak dilaksanakan. Tanah mulai dilihat sebagai komoditas ekonomi, sehingga Negara pun mengeluarkan satu bentuk produk hukum, yakni Hak Menguasai Negara atas Tanah (HMN) sehingga Negara dapat melakukan penggusuran kepada masyarakat atas kepemilikan tanah mereka dengan dalih tanah Negara. Peranan militer di Indonesia yang cukup kuat dalam kancah politik telah menyeret, militer terjun pula ke ranah ekonomi sehingga militerpun mencari tanah tanah yang strategis untuk dikuasai dengan motif ekonomi. Dari dua hal ini maka wajarlah apabila kemudian di Indonesia tingkat konflik tanah sangat tinggi. Mulai tahun 1970-2002, konflik agraria di Indonesia berjumlah 1124 kasus.

Dalam sektor agraria, agenda neo-liberalisme yang bertujuan untuk meminimalisir peran negara terhadap pengadaan tanah untuk pembangunan muncul muncul di tahun 1980-an. Akibat adanya krisis harga minyak dunia, dimana sektor minyak bumi menjadi penyumbang terbesar pendapatan Negara di tahun 1970-an, tidak dapat lagi diandalkan akibat rendahnya harga dari minyak bumi di pasaran internasional. Langkah stabilisasi ekonomi jilid ke dua pun dilakukan pemerintah Indonesia dibantu oleh Bank Dunia. Deregulasi yang bertujuan untuk melakukan stabilisasi perekonomian disektor pertanahan, diimplemetasikan dengan melaksanakan Proyek Administrasi Pertanahan (Land Administration Project). Tujuan pelaksanaan proyek ini di Indonesia diharapkan akan menciptakan pasar tanah yang efektif (effective land market). Dengan adanya pasar tanah maka pelaksanakan pelepasan tanah konsentrasi kepemilikan tanah kepada pemodal besar akan lebih mudah dilakukan. Selain itu, dengan melakukan proyek administrasi pertanahan di Indonesia maka perilaku bureaucratic rent serta perilaku korup dari pejabat Negara akan dapat diminimalisir. Dengan adanya proyek pertanahan ini juga diharapkan, tanah tidak hanya sebagai sarana sosial namun tanah juga dapat menjadi sebuah komoditas ekonomi. Tanah dapat menjadi agunan sehingga dalam jangka menengah, pihak pemilik modal akan dapat membeli tanah tanah tersebut sehingga akan tercipta akumulasi modal di tangan tangan kaum investor khususnya investor asing.

Melalui dokumen resmi Bank Dunia dijelaskan bahwasanya kesulitan untuk melakukan pembebasan tanah di Indonesia menjadi sebuah permasalahan yang cukup akut. Oleh karena itulah maka pernanan dari proyek administrasi pertanahan sangat diperlukan. Proyek Administrasi Pertanahan (PAP) merupakan usulan dari Dewan Direktur Bank Dunia kepada Indonesia pada tahun 1994. Pada tahun 2001 Proyek Administrasi Pertanahan tahap pertama selesai namun program tidak berhenti dengan selesainya tahapan yang pertama ini namun berlanjut di sesi yang kedua, namun interval Land Administration Project yang kedua ini yang tidak sampai enam tahun. Sejak tahun 2004 Pemeritah Indonesia dengan pihak Bank Dunia telah menyiapkan sebuah Proyek Manajemen Pembangunan Kebijakan Pertanahan (Land Management Policy Development Project).

Kesadaran akan realitas akan menumbuhkan semangat perlawanan. Semoga resume atas buku prinsip reforma agraria,dapat menggugah semangat kawan kawan untuk melihat realitas petani di indonesia, yang masih banyak menuntut haknya atas tanah yang telah dirampas oleh Negara, militer, kapital global.


0 komentar:

Posting Komentar