Menakar Fugsi Pemilu bagi masyarakat

Dalam mazhab Gramscian, ada idiom yang mengatakan, kalangan terdidik atau cendekiawan harus memihak dengan kelas atau suatu kelompok tertentu dan hal ini sering diterjemahkan oleh para politisi dengan mengatakan, kekuasaan sesungguhnya bukan untuk kekuasaan semata, tetapi untuk memberikan kesejahteraan yang diamanatkan konstitusi. Kepada rakyatlah ujung dari kekuasaan itu harus berakhir. Artinya, penyelenggaraan pemilu yang menelan biaya ratusan miliar rupiah dari uang rakyat yang terhimpun dalam APBN, dan pasti lebih besar lagi yang dikeluarkan dari kas partai dan kantong caleg, idealnya didedikasikan untuk menyejahterakan rakyat. Namun sayangnya bentuk perhatian serta keberpihakan para caleg serta partai politik ini seringkali diimplemantasikan di saat di masa masa kampanye.

Pada dasarnya fungsi pemilu diadakan di sebuah Negara ada beberapa hal, yang antara lain : 1. Membuat sebuah kebijakan yang baru yang lebih progresif, 2. Adanya upaya untuk membuat tercitrakan nya posisi dewan perwakilan secara positif dimata masyarakat. Namun hal ini dengan adanya praktek money politics telah membuat sebuah implikasi negatif terhadap masyarakat dan kinerja aparatus Negara. Dalam membuat sebuah sebuah Negara yang ideal, fungsi partai dan legislator adalah sebagai pengemban amanat masyarakat dan media kontrol perjalanan pemerintahan sebuah rezim. Namun dengan adanya praktek politik uang maka fungsi fungsi ini pun mulai luntur dari tanggung jawab para partai politik serta para legislator. Dengan adanya praktik politik uang, maka cara anggota legislatif merasa ada sebuah usaha keras yang mereka lakukan untuk meraih simpati warga. Usaha disini memiliki pengertian sebagai bahwasanya untuk meraih kursi mandat tersebut maka bukanlah usaha untuk meraih kepercayaan dengan mengedepankan rencana program lima tahunan kepada konstituen melainkan “memanjakan” rakyat dengan memberikan kebutuhan pragmatis terhadap masyarakat.

Kalau seluruh elemen Bangsa ini mau jujur maraknya praktik politik uang dari tiap diadakannya pesta demokrasi maka ada sebuah fakta yang memperlihatkan bahwasanya apparatus Negara hanyalah memfungsikan masyarakat di saat saat Negara butuh akan adanya kas kas pemasukan dari sector pajak, retribusi serta pungutan lain. Dengan adanya bentuk permarjinal an posisi masyarakat terhadap kehidupan ber Negara ini, maka muncul sebuah sikap “balas dendam” serta apatisme rakyat terhadap partai dan fungsinya. Rakyat melihat di momen pemilu lah mereka dapat merasakan hasil dari uang uang mereka yang dikumpulkan oleh Negara untuk membiayai pembangunan. Banyak ketidak percayaan masyarakat terhadap hasil dari pelaksanaan Pemilu yang akan berkorelasi posistif terhdap perbaikan nasib mereka.

Memang untuk mengubah persepsi yang telah mulai menjadi tradisi dalam rutinitas masa kampanye untuk mendapatkan dukungan masyarakat dengan jalan jual beli suara di Indonesia menjadi tugas berat partai politik. Namun apabila tidak segera dimulai hari ini maka bentuk Negara, aparatus Negara yang ideal akan sangat susah untuk kita dapatkan untuk menyelamatkan Negara ini dari kegoncangan. Oleh karena itu, apabila Pemilu dipakai sebagai sarana untuk membuat adanya perubahan kebijakan yang lebih baik dari rezim sebelumnya, maka pada tahapan inilah seluruh kontestan pemilu perlu untuk benar benar menegakkan hukum dan perundangan yang berlaku, begitu pula dengan lembaga penyelenggara pemilu. Kalau saja ada partai yang memang benar benar mengimplementasikan hal ini tidak hanya sekedar klaim maka partai inilah yang saya pilih.


0 komentar:

Posting Komentar