Peranan Bank Dunia terhadap pembaruan Agraria di Indonesia

UUPA 1960: benteng hukum satu-satunya dan terakhir untuk Land Reform yang Pro kepada Keadilan Sosial

• Produk hukum terbaik untuk mewujudkan keadilan sosial di Indonesia setelah kemerdekaan (McAuslan, 1986)

• Prnsip-prinsip dalam UUPA 1960: nasionalisme; tanah dan sumber-sumber agrarian lainnya memiliki fungsi sosial – bukan

komersial; anti terhadap eksploitasi manusia (exploitation de l’homme par l’homme)dan monopoli; land reform populis; dan perencanaan agraria

• Pendaftaran Tanah adalah bagian dari (satu langkah di dalam) pelaksanaan land reform, khususnya untuk mengidentifikasi tanah-tanah kelebihan batas maksimal dan tanah-tanah

absentee

• Pendaftaraan tanah berpegang pada prinsip stelsel-aktif (active-stelsel)

Kerusuhan Politik 1965-1966

• Perubahan rejim politik rejim otoriter Soeharto mengambil alih kekuasaan negara

• Pembantaian manusia jutaan orang terbunuh, kebanyakan merupakan penduduk desa dan petani, aktivitas kelompok-kelompok kiri dan kritis

dilarang

• Land reform yang populis dihentikan secara Sistematik

Tahun 1967 sebagai Titik Balik

• Developmentalisme untuk mengintegrasikan perekonomian dan masyarakat Indonesia pada kapitalisme global

• Tanah ditempatkan sebagai satu sektor dalam pembangunan ekonomi, dan pendaftaran tanah sepenuhnya hanya merupakan persoalan administratif

• Penciptaan ‘sektoralisme’ hukum, seperti UU Kehutanan, Pertambangan untuk memfasilitasi eksploitasi sumber daya alam dalam skala besar dan menegasi hak-hak orang setempat atas tanah

• Tanah dengan sengaja diubah fungsinya menjadi komoditas, tetapi konsep fungsi sosial dari tanah selalu digunakan untuk melegitimasi aktivitas penggusuran-penggusuran

• Konsep “State-led land transfer” digunakan oleh rejim otoriter dan birokrasi pencari rente menjadi dasar dari konflik-konflik agraria dan mal-administrasi (manipulasi dan korupsi; pengingkaran land reform sebagaimna dimandatkan oleh UU)

• Distribusi penguasaan tanah yang tidak adil semakin diperkuat, bukan diselesaikan, hingga konflik-konflik agraria meluas

• Land reform menghilang dari berbagai bentuk wacana publikPertengahan 80an – Pertengahan 90an: Pembentukan Fondasi sosial dan ekonomi bagi kebijakan pasar tanah

• De-regulasi ekonomi untuk memfasilitasi lebih banyak investasi dan penyedotan kekayaan alam maupun pengalihan hak atas tanah

• Penggusuran tanah secara masif untuk “pembangunan eonomi” dan ekstraksi sumber daya alam

• Investor, asosiasi-asosiasi bisnis, dan lembaga-lembaga keuangan multi-lateral memulai kampanye: ekonomi biaya tinggi untuk investasi di Indonesia, adanya ketidakpastian hukum penguasaan tanah (terlalu banyak konflik, protes, dan klaim-kalim yang tumpang tindih)

• Munculnya gagasn untuk mengganti atau merevisi UUPA 1960 dengan hukum pertanahan/agraria yang lebih bersahabat dengan pasar; dan gagasan tanah sebagai komoditas secara formal diluncurkanolehpemerintahRI dibawah asistensi Bank DuniaLand Administration Project (LAP)

• LAP dipromosikan oleh Bank Dunia pada awal tahun 1990-an

• Tujuannya: untuk mengembangkan dasar-dasar sosial dan kebijakan bagi mekanisme/operasi pasar tanah yang bebas (free land market)

• Fase-I dari LAP (1995-2000) dibiayai melalui hutang Bank Dunia (US$ 44.9 M), grant dari AusAid (US$ 15.2 M), dan dana lain yang bersumber dari kas negara (sumber lokal/domestik)

• Proyek ini memiliki 3 bagian: (1) registration tanah – baik secara sistematik maupun sporadik – yang dsebut dengan “project Part-A”;

(2) studi mengenai pendaftaran tanah-tanah komunal – disebut “project Part-B”; dan (3) review kebijakan pertanahan – disebut dengan “project Part-C”

• Target utama LAP Part C adalah: (1) mengembangkan suatu sistem hukum agraria yang terintegrasi dalam jalur orientasi pasar dan investasi bebas; (2) untuk mengubah UU agraria yang populis (: UUPA 1960)Satu poin penting dari laporan LAP Part-C “UUPA 1960 memiliki masalah-masalah yang mendasar, yang tidak diselesaikan, yang berimplikasi pada sejumlah pertanyaan serius mengenai relevansinya dengan situasi modern... Keterbatasan UUPA lainnya adalah rumusannya yang sangat spesifik pada hubungan antara agraria dan pembangunan. Hal ini tercermin dalam sejumlah pengaturan seperti kewajiban pemilik tanah untuk menggarap atau menggunakan sendiri tanah-tanahnya (menolak konsep absenteeisme), pembatasan penguasaan tanah, dan hak-

hak khusus untuk aktivitas pertanian. Adanya perhatian khusus kepada aktivitas pertanian telah menciptakan banyak masalah manakala UU ini diterapkan kepada berbagai kepentingan non-pertanian, seperti: industrialisasi, investasi asing, dan proyek-proyek pembangunan lainnya dalam konteks perdagangan bebas di era globalisasi saat ini” (National Development Planning Agency and National Land Agency. 1997. Executive Summary of Final Report and Policy Matrix: Land Policy Reform in Indonesia, a Topic Cycle 4 of LAP-Part C, pp.RE – 2-3)Land Management and Planning Development Project (LMPD) dan Fase-II dari LAP

• Walaupun memperoleh berbagai tentangan dan protes, proyek LAP Fase-I terus berlanjut hingga tahun 2000 dengan hasil-hasil yang jauh dari target

• Kenyataannya, kemudian ada persoalan politik untuk melanjutkan proyek ini ke fase berikutnya sebagai bagian dari akibat pergantian rejim penguasa setelah Soeharto jatuh tahun 1998

• Ketika Gus Dur menjadi presiden di tahun 1999, Bank Dunia dan BPN sebagai agen utama pelaksana proyek mempromosikan kelanjutan proyek ini. Tetapi menteri keuangan Gus Dur saat itu tidak memberi persetujuan penambahan utang luar negeri; dan Gus Dur sedang berencana untuk melikuidasi BPN dalam rangka menerapkan

desentralisasi pemerintahan sepenuhnya

• Bank Dunia kemudian menggunakan strategi lain untuk melanjutkn proyek dengan menciptakan “proyek antara” yang disebut dengan LMPDP. Mereka menciptakan suat saluran untuk membiayai proyek ini dengan menggunakan skema grant (hibah) dari JICA

Serbuan Kebijakan Pertanahan Indonesia



Beberapa Kebijakan yang berkaitan dengan Tanah

dan Agraria yang sudah Pro pada Rejim Pasar dan Investasi Bebas (the Free Market and Investment Regime)

• UU Perkebunan 2003 Æ memperkuat keberadaan dan operasi perkebunan besar dan mengijinkan perluasan bagi kegiatan ekstraktifnya

• UU Sumber Daya Air 2003 Æ mengijinkan penguasaan sumber daya air oleh perusahaan-perusahaan komersial

• UU Darurat No. 1/2004 yang mengijinkan operasi pertambangan besar di wilayah-wilayah kawasan hutan lindung

• Suatu drfat dari UU Pertambangan yang baru sedang disusun untuk memperkuat eksploitasi tambang dlam skala besar di bawah pengaturan kontraktual (dibebaskan dari pembatalan/pencabutan ijin oleh pemerintah meskipun melakukan operasi yang merugikan) Status UUPA 1960 untuk sementara “aman” setelah Joyo Winoto (Kepala BPN yang baru) meyakinkan DPR yang sudah mengantongi draft revisi UUPA untuk tiak melanjutkan upayanya. Joyo menjanjikan akan memberikan usulan drfat UU Pertanahan sebagai aturan pelaksana dari UUPA 1960

Rejim Politik yang Baru yang Pro sepenuhnya pada Pasar

• Dipimpin oleh SBY-MJK dengan sejumlah pelaku bisnis yang menjadi politisis yang duduk di parlemen, dan menjadi pimpinan partai politik

• Melaksanakan Infrastructure Summit 2005 yang memberikan jaminan kepada pelaku bisnis dan investor untuk beroperasi di Indonesia dengan suatu kebijakan baru di bidang pertanahan untuk lebih menjamin adanya kepastian hukum Æ berjanji untuk menciptakan

lebih dari 14 peraturan baru untuk memfasilitasi pembentukan arena baru bagi investasi bebas di Indonesia; salah satunya dimulai dengan menerbitkan Kepres No. 36/2005 yang mengijinkan penggusuran tanah untuk kepentingan “pembangunan infrastruktur”

• Saat ini banyak aktor dan kekuatan gerakan sosial – termasuk organisasi-organisasi tani – yang terjebak untuk masuk dan terlibat dalam “mengamankan” Program Pembaruan Agraria Nasional yang digagas oleh SBY, yang sesungguhnya adalah suatu Reforma Agraria Palsu!!!!

Refleksi

• Banyak usaha yang telah dilakukan (advokasi kebijakan dan protes) untuk menentang dan menghentikan berbagai kebijakan “negara neo-liberal” dan kekuatan-kekuatan neolibral lainnya, tetapi tidak membuahkan hasil yang optimal. Kekuatan neoliberal terus melaju dan betambah kuat dan memberikan ancaman semakin besar bagi masa depan dan kesejahteraan rakyat kecil

• Hanya ada dua cara bagi gerakan sosial untuk menahan kecenderungan ini: menguasai dan mengambil alih sumber-sumber kekuasaan di tingkat lokal (misalnya: aksi pendudukan tanah secara kolektif); dan mengambil alih kekuasaan negara di semua tataran!

Read more

Gurita Globalisasi di Indonesia

Dengan datangnya reformasi di Indonesia maka ada sebuah angin segar bagi masyarakat Indonesia untuk dapat menghirup udara kebebasan dalam hal hal berdemokrasi, berserikat dan berkumpul. Hak social politik masyarakat Indonesia yang telah lama terkungkung oleh system otoritarianisme menjadi terbuka dengan datangnya era reformasi. Namun dibalik euphoria masyarakat di era reformasi ini ada tantangan terbesar dari bangsa ini yang telah secara aktif terjebak dalam arena globalisasi. Globalisasi secara harfiah memiliki makna terbukanya sekat sekat dari Negara Negara yang ada di dunia sehingga lalu lintas perdagangan dapat terjadi secara bebas daan aktif.

Dengan meningkatnya lalu lintas perdagangan di sebuah Negara maka laju investasi dari luar negeri ke Negara lainnya khususnya dari Negara maju ke Negara berkembang pun makin massif. Pergerakan investasi yang makin meningkat di sebuah Negara dapat bersifat negatif serta dapat bersifat positif. Namun dari pengalaman sejarah yang terjadi di Indonesia peningkatan nilai investasi lebih mengakibatkan adanya penurunan daya proteksi Negara terhadap masyarakat serta dilarikannya keuntungan dalam Negeri ke Negara asal investor. Peningkatan investasi di Indonesia yang lebih banyak dimotifasi keinginan untuk mencari buruh murah oleh para pemodal serta melakukan eksploitasi sumber daya alam di Indonesia merupakan buah dari gerakan globalisasi ekonomi yang telah memposisikan diri menjadi panglima dalam Negara.

Secara tidak sadar ketika kita digiring untuk melaksanakan euoforia di era reformasi yang ditandai dengan jatuhnya tingkat ekonomi Indonesia maka perangkap globalisasi pun makin menganga. Di era reformasi ada sebuah kewajiban pemerintah pusat untuk memberikan kesempatan seluas luasnya kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemeritahannya sendiri serta menciptakan kemandirian dalam menacari sumber keuangan daerah (desentralisasi). Apabila kita lihat hal ini dari sudut pandang politik desentralisasi merupakan hal yang berimplikasi positif karena pemerintah daerah dapat mengembangkan wilayahnya sesuai dengan konteks social budayanya dan tak lupa kondisi geografisnya. Namun dalam urusan modal yang didapatkan oleh sebuah wilayah maka pemerintah pusat juga memberikan kesempatan seluas luasnya kepada daerah untuk mencari dana pembangunan baik dengan meningkatkan pengelolaan, pengolahan sumber daya alam maupun melalui pencarian sumber hutang baru baik yang berasal dari dalam Negeri maupun luar negeri. Dengan adanya pemberian kesempatan ini maka telah terjadi globalisasi modal (capital) di daerah sehingga akan mengakibatkan makin meningkatkannya pula ketergantungan serta keterbelakangan dari Indonesia terhadap Negara maju.

Dalam persyaratan hutang yang selalu mencantumkan persyaratan atau penyesuaian struktural maka Negara Negara penghutangpun haruslah melakukan persyaratan tersebut. Dalam hal ini biasanya adalah dibukanya kesempatan bagi kaum investor untuk dapat mengembangkan usahanya baik secara kongkrit aplikasinya adalah dengan meminimalisirkan hambatan bagi kelompok investor. Sedangkan sebagai bukti komitmen dari pemerintah dalam memfasilitasi investor maka tugas dan kewajiban dari pemerintah adalah menyediakan infrastruktur yang mendukung kelancaran investasi. Infrastruktur ini misalnya saja jalan raya, pembangkit tenaga listrik.

Pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir di semenanjung muria adalah sebagai bukti adanya upaya pemerintah dalam memberikan fasilitas bagi investor. Selain itu apabila kita memakai perspektif kapitalisme semu seperti yang telah diutarakan oleh Yoshihara Kunio, pemeritah di Negara berkembang akibat tidak berjalannya system kapitalisme sesuai dengan sifat dasarnya yakni pemberian kesempatan seluas luasnya kepada seluruh elemen masyarakat tanpa adanya pembedaan kelas. Sifat kapitalisme yang kerdil telah mengaitkan kaum pembuat kebijakan selalu kalah dalam loby dengan para pemodal sehingga kebijakan serta perencanaan pembangunan tidak lagi untuk menciptakan sebuah kumparan pembangunan yang bersifat berkelanjutan namun pembangunan di Indonesia yang lebih mengikuti kepentingan kaum investor.

Globalisasi keuangan yang khususnya adalah modal luar negeri kecenderungan globalisasi dari membanjirnya barang-barang impor, sehingga menempatkan produk domestik tidak dapat bersaing dan ekspor menjadi tidak berkembang. Kedua efek globalisasi pada pembayaran netto pendapatan faktor luar negeri yang cenderung defisit. Hal ini akibat dari investasi asing keterkaitan dengan aliran pembayaran keuntungan atau pendapatan “investasi” ke luar negeri. Aspek stabilisasi perbankan, lebih disebabkan efek globalisasi terhadap aliran investasi “modal” portopolio, yaitu pada partisipasi dana asing ke pasar saham. Dimana “fluctuation” pasar saham berkorelasi terhadap nilai mata uang domestik. Ketidaktetapan di sektor keuangan jelas membawa pengaruh pada stabilitas kegiatan ekonomi nasional. Sementara aspek keempat, adalah akumulasi dari seluruh aspek di atas. Macetnya sektor industri dalam negeri, buruknya neraca pembayaran dan tidak stabilnya perbankan Indonesia jelas berdampak pada ketidakstabilan pertumbuhan ekonomi. Dan dalam jangka panjang akan mengurangi laju pertumbuhan ekonomi nasional secara keseluruhan. Dari perkembangan dan tuntutan globalisasi di atas, bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia tentu saja menjadi masalah yang secara simultan akan mempengaruhi modal domestik dan produk dalam negeri. Terlebih bila diletakan pada kualitas barang prokduksi dalam negeri yang kurang baik dan beban biaya produksi di Indonesia yang cukup tinggi.
Realita produk tersebut jelas akan berlanjut pada tingkat persaingan barang produksi “perusahaan” Indonesia menjadi tidak maksimal. Kekalahan kompetitif ini tidak saja disebabkan oleh tingkat kualitas barang yang dihasilan tetapi juga pada harga. Barang produksi luar, disamping harga yang murah dan terjangkau oleh daya beli masyarakat tetapi dibarengi dengan kualitas produksi yang baik. Bahkan kenyataan komparatif tersebut dikuatkan legi oleh “selera-konsumen” masyarakat Indonesia –terutama kelompok elite-- yang cenderung menyukai barang produk impor, sehingga makin memperparah keberadaan barang produksi dalam negeri.
Disinilah globalisasi perekonomian dan perdagangan merupakan keniscayaan bagi perekonomian Indonesia, sehingga membutuhkan pilihan sikap untuk mencermati secara komprehensif. Disamping itu diperlukan sinergisitas dari kelompok kepentingan terkait dalam menentukan pilihan pemberdayaan produksi Indonesia, yaitu antara pemerintah, pelaku usaha Indonesia dan masyarakat. Hal ini tentu dengan mempertimbangkan bahwa 225 juta jumlah penduduk Indonesia adalah pasar domestik yang potensial. Bagaimana political will pemerintah terkonsentrasi pada kemungkinan pemberdayaan perekonomian nasional, khususnya mengenai kebijakan-kebijakan dalam upaya peningkatan produktivitas usaha mikro, kecil dan menengah. Sedikitnya pada “enam langkah” yang diungkap SBY, Pertama, dengan melakukan pemetaan dunia usaha sebagai pengetahuan dasar potensi keunggulan komparatif dan kompetitif. Dalam hal ini pemerintah membentuk pusat data dan trade house. Kedua, penetapan kebijakan fiskal yang kondusif terhadap iklim usaha, yaitu kemudahan pelayanan pajak dan perolehan kredit. Ketiga, penyediaan bantuan dalam percepatan perkembangan usaha, yaitu pemodalan. Keempat, dorongan dan perlindungan usaha. Seperti pada perkembangan usaha sektor informal sebagai unit penyangga ekonomi masyarakat. Kelima, adalah pengendalian modal asing serta produk impor, mengingat globalisasi perdagangan pada fase tertentu menghancurkan ekonomi dalam negeri. Keenam, membangun gerakan loyalitas konsumen dalam negeri untuk produksi dalam negeri, pada kemampuan untuk menginformasikan barang-barang produksi domestik. Dalam langkah ini peran para pengusaha lokal meningkatkan kualitas barang produksinya, sekaligus membangun kepercayaan pasar masyarakat.
Sementara pada posisi masyarakat, yaitu tidak lagi sebatas “rela” membentuk selera konsumeristiknya berdasar solidaritas berbangsa, melainkan tumbuh kebanggaan terhadap produk “made in” Indonesia mengingat secara mutu dapat bersaing dengan produk asing. Namun satu hal yang penting untuk dikedepankan adalah “tauladan” kita untuk bersikap mencintai dan membeli produksi Indonesia, sikap sebagai pilihan pada nilai nasionalisme dan kebangkitan ekonomi pribumi, sebagai pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan.


Read more

REFORMA AGRARIA Jalan Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat

Salam Pembebasan,

Sebagai sebuah Negara yang kaya akan sumber daya alam, Indonesia sejak menggunakan strategi pembangunan (developmentalis) mulai mengingkari kenyataan sebagai Negara agraris. Sector kapitalis yakni industri serta jasa lebih banyak dikembangkan di Indonesia. Sudah barang tentu dengan adanya hal ini maka sector sector yang menggantungkan terhadap keberadaan tanah (pertanian, perkebunan) mulai diabaikan, bahkan yag lebih ironis adalah kenyataan bahwasanya pertanian adalah sector yang digunakan sebagai penyangga sector industri. Selain itu apabila kita hubungkan dengan konteks geografis, dimana mayoritas wilayah pertanian mayoritas dikembangkan di kawasan pedesaan daripada di perkotaan, maka ada sebuah kesepakatan yakni kawasan desa berfungsi untuk menyangga kawasan perkotaan. Dalam artian, dengan adanya supply beras atau bahan makan dari kawasan perkotaan maka hal ini akan membuat satu implikasi terstabilkannya kondisi politik di kawasan perkotaan karena terpenuhi serta tercukupinya bahan makan mereka. Selain itu, pemerintah Indonesia, seperti kita tahu, gemar danrajin untuk menambah hutang hutang baru, dimana dalam Kesepakatan hutang (Letter of Intens) selalu ada penyesuaian structural (Strustural Adjusment Programs) yang harus diberlakukan oleh suatu Negara. Dimana salah satu persyaratannya adalah menimalkan peran Negara dalam memberikan subsidi terhadap kepentingan masyarakat luas. Dalam konteks pertanian, bentuk penyesuaian tersebut antara lain; 1. Pupuk pendistibusiannya dipegang oleh pihak swasta, 2. Pengurangan subsidi pupuk terhadap petani, 3. Harga jual produk pertanian diserahkan pada mekanisme pasar, 4. masih banyak lagi, namun yang paling menarik mari kita diskusikan, ha haha ha.

Dampak dari adanya problematika yang menghalangi kemajuan dari sector pertanian tersebut dapat kita atasi dengan melaksanakan pembaruan agraria. Pembaruan Agraria pada dasarnya dapat dilakukan dengan dua bentuk jenis kegiatan. Pertama; adalah dengan memberikan akses atas hak petani yang meliputi, tekhnologi, modal, serta dukungan bantuan dari Pemerintah. Kedua; melaksanakan land reform. Land reform adalah pendistribusian tanah kepada para penggarap (land Tiller) untuk mengatasi ketimpangan penguasaan, kepemilikan serta penggunaan tanah agar tercipta kesejahteraan bagi masyarakat.

Ada beberapa definisi pembaruan agraria, dimana perbedaan tersebut dapat dipicu oleh konsep ideologis yang dianut oleh sebuah Pemerintahan. Pembaruan Agraria sesuai dengan amanat Undang Undang Pembaruan Agraria tahun 1960 adalah proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan yang akhirnya akan menciptakan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam Pasal 2 TAP MPR-RI No IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Pengertian dari pembaruan agraria adalah upaya menata penguasaan tanah yang ada dengan melaksanakan redistribusi tanah (Land reform). Yang didukung dengan program lainnya dalam rangka mengembangkan produksi dan keberlanjutan pengusahaan tanah-tanah yang telah diredistribusikan tersebut melalui dukungan modal, input pertanian, sistem pemasaran, penyuluhan (acces reform). Sedangkan Pembaruan agraria menurut konsepsi Bank Dunia adalah perbaikan kondisi yang mempengaruhi sektor pertanian. Modifikasi ini dapat berupa kebijakan harga yang akan merendahkan tingkat nilai tukar guna menguntungkan sektor pertanian; meningkatkan alokasi sektor pertanian agar dapat mengembangkan ke dalam riset; eksistensi; latihan dan layanan tempat penyimpanan; membuat penyediaan fisik; seperti pupuk, ketersediaan kredit, serta menyediakan infrastuktur guna memfasilitasi produk pertanian. Land reform dalam perspektif Bank Dunia adalah sebuah program pembangunan desa. Dalam pandangan Bank Dunia redistribusi tanah guna melakukan perubahan pola distribusi hanya akan berakibat pada meningkatnya pertanian kelas menengah serta pertanian berukuran kecil hanya akan bersifat menghambat laju pertumbuhan ekonomi suatu Negara. Oleh karena itulah Negara yang merupakan pemilik dari tanah di sebuah negara haruslah dapat melakukan mengumpulkan bidang tanah yang berukuran kecil kecil tersebut untuk disatukan sehingga dapat dengan mudah tercipta konsentrasi kepemilikan tanah yang berukuran besar (land reform by grace) sehingga dapat menjadi alat produksi yang efektif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Dalam sejarah dunia membuktikan, bahwasanya sebelum meningkat ke sektor industri, kapitalisme telah menyerang sektor pertanian terlebih dahulu. Di Indonesia, fenomena tersebut dapat kita tilik dari komparasi luasan tanah yang dimiliki oleh masyarakat miskin dan menengah dibandingkan dengan luas tanah yang dimiliki kelompok priyayi. Ketimpangan ini kemudian bergeser serta bertambah akut, diera developmentalis yang bermula di era pemerintahan Orde Baru. Kepemilikan, penguasaan serta penggunaan tanah lebih didominasi oleh kelompok investor yang notabene adalah perusahaan transnasional. Perubahan strategi pembangunan yang berimplikasi terhadap sektor pertanahan dan juga pertanian, di orde baru berjalan tiga periodesasi, yakni; tahun 1967-1974; strategi yang dipakai adalah strategi yang memungkinkan swasta untuk dapat memainkan peranan aktifnya dan sistem pasar bebas yang memungkinkan pemanfaatan modal asing. Strategi ini menjanjikan hasil yang lebih cepat tanpa memerlukan perombakan sosial ekonomi yang mahal. Upaya ini berorientasi untuk menarik modal asing serta kreditor asing terutama Bank dunia, IMF dan Juga IGGI. Pilihan lain untuk mengisi kas Negara dengan melakukan eksploitasi sumber daya alam. Ada dua pilihan yang digunakan oleh orde baru untuk memulai pembangunan yakni dengan lebih menitik beratkan pada bantuan asing dan eksploitasi sumber daya alam. Implikasi hal ini adalah banyaknya peraturan dan perundangan yang dibentuk oleh orde lama dalam kebijakan pertanahan yang tidak dijalankan bahkan dibekukan. Periode kedua tahun 1974-1983, ditandai dengan meningkatkan produktifitas tanpa adanya penataan struktur. Upaya ini adalah untuk menciptakan stabilitas politik lewat terciptanya kecukupan pangan terutama untuk masyarakat perkotaan. Peningkatan produksi ini bukanlah untuk meningkatkan dan memeratakan pendapatan petani atau masyarakat pedesaan namun lebih sebagai upaya untuk mensuplai kebutuhan pokok masyarakat perkotaan yang selama ini mudah menyebabkan instabilitas. Periode yang ketiga tahun 1983-1990-an; Periode ini sering disebut sebagai era deregulasi. Diawali dengan deregulasi perpajakan, perbankan yang kemudian diikuti dengan deregulasi sektor riil lainnya.

Gagalnya serta hancurnya pelaksanaan pembaruan agraria di Indonesia telah memberikan pukulan terhadap sektor pertanian yang makin lama tanah yang diolah semakin sempit. Dari data olahan Konsorsium Pembaruan Agraria tahun 2005, kepemilikan tanah pertanian masyarakat mengalami penyusutan. Dimana hal tersebut dapat kita lihat dari berikut :

Dengan adanya penyusutan luasan tanah yang dikuasai maka hal ini berbanding lurus dengan tingkat kemiskinan yang terjadi di kawasan pedesaan. Dengan adanya transfer tekhnologi serta administrasi pertanahan, petani serta kelompok masyarakat miskin harus bersiap siap untuk kehilangan tanahnya, kemudian dalam konteks ketahanan pangan, dengan makin sempit serta hampir tidak dilaksanakannya bentuk perhatian Negara terhadap nasib petani maka kedaulatan pangan di Indonesia sulit untuk diwujudkan. Kenyataan yang lebih ironis adalah Negara kita untuk memenuhi kebutuhan akan pangan khususnya beras haruslah melakukan import.

Ada beberapa prasyarat agar pembaruan dapat terwujud :

1. Kemauan politik dari elit politik

2. Organisasi tani yang kuat

3. Data kondisi agraria yang lengkap dan akurat

4. Militer yang mendukung pembaruan agrarian

Pengalaman sejarah Indonesia membuktikan bahwasanya, satu satunya Pemerintahan yang berpikir panjang dalam artian melihat melihat strategi pembaruan agraria merupakan agenda penting untuk menuju kesejahteraan dan sebuah prasyarat untuk tinggal landas ke era industrialisasi adalah era pemerintahan Soekarno (eehm, kawan GMNI semoga bahagia Nabinya saya sebut, ha haha ha). Serius lagi, Namun sejak orde baru, beberapa prasyarat untuk mewujudkan pembaruan agraria tidak dilaksanakan. Tanah mulai dilihat sebagai komoditas ekonomi, sehingga Negara pun mengeluarkan satu bentuk produk hukum, yakni Hak Menguasai Negara atas Tanah (HMN) sehingga Negara dapat melakukan penggusuran kepada masyarakat atas kepemilikan tanah mereka dengan dalih tanah Negara. Peranan militer di Indonesia yang cukup kuat dalam kancah politik telah menyeret, militer terjun pula ke ranah ekonomi sehingga militerpun mencari tanah tanah yang strategis untuk dikuasai dengan motif ekonomi. Dari dua hal ini maka wajarlah apabila kemudian di Indonesia tingkat konflik tanah sangat tinggi. Mulai tahun 1970-2002, konflik agraria di Indonesia berjumlah 1124 kasus.

Dalam sektor agraria, agenda neo-liberalisme yang bertujuan untuk meminimalisir peran negara terhadap pengadaan tanah untuk pembangunan muncul muncul di tahun 1980-an. Akibat adanya krisis harga minyak dunia, dimana sektor minyak bumi menjadi penyumbang terbesar pendapatan Negara di tahun 1970-an, tidak dapat lagi diandalkan akibat rendahnya harga dari minyak bumi di pasaran internasional. Langkah stabilisasi ekonomi jilid ke dua pun dilakukan pemerintah Indonesia dibantu oleh Bank Dunia. Deregulasi yang bertujuan untuk melakukan stabilisasi perekonomian disektor pertanahan, diimplemetasikan dengan melaksanakan Proyek Administrasi Pertanahan (Land Administration Project). Tujuan pelaksanaan proyek ini di Indonesia diharapkan akan menciptakan pasar tanah yang efektif (effective land market). Dengan adanya pasar tanah maka pelaksanakan pelepasan tanah konsentrasi kepemilikan tanah kepada pemodal besar akan lebih mudah dilakukan. Selain itu, dengan melakukan proyek administrasi pertanahan di Indonesia maka perilaku bureaucratic rent serta perilaku korup dari pejabat Negara akan dapat diminimalisir. Dengan adanya proyek pertanahan ini juga diharapkan, tanah tidak hanya sebagai sarana sosial namun tanah juga dapat menjadi sebuah komoditas ekonomi. Tanah dapat menjadi agunan sehingga dalam jangka menengah, pihak pemilik modal akan dapat membeli tanah tanah tersebut sehingga akan tercipta akumulasi modal di tangan tangan kaum investor khususnya investor asing.

Melalui dokumen resmi Bank Dunia dijelaskan bahwasanya kesulitan untuk melakukan pembebasan tanah di Indonesia menjadi sebuah permasalahan yang cukup akut. Oleh karena itulah maka pernanan dari proyek administrasi pertanahan sangat diperlukan. Proyek Administrasi Pertanahan (PAP) merupakan usulan dari Dewan Direktur Bank Dunia kepada Indonesia pada tahun 1994. Pada tahun 2001 Proyek Administrasi Pertanahan tahap pertama selesai namun program tidak berhenti dengan selesainya tahapan yang pertama ini namun berlanjut di sesi yang kedua, namun interval Land Administration Project yang kedua ini yang tidak sampai enam tahun. Sejak tahun 2004 Pemeritah Indonesia dengan pihak Bank Dunia telah menyiapkan sebuah Proyek Manajemen Pembangunan Kebijakan Pertanahan (Land Management Policy Development Project).

Kesadaran akan realitas akan menumbuhkan semangat perlawanan. Semoga resume atas buku prinsip reforma agraria,dapat menggugah semangat kawan kawan untuk melihat realitas petani di indonesia, yang masih banyak menuntut haknya atas tanah yang telah dirampas oleh Negara, militer, kapital global.


Read more

Potret Penanaman Modal Asing di ASEAN dalam Bingkai AFTA

Potret Penanaman Modal Asing di ASEAN dalam Bingkai AFTA

*Juniman

DATA terakhir menunjukkan, secara keseluruhan penanaman modal asing di ASEAN kembali meningkat. Akan tetapi, jika kita lihat per negara anggota ASEAN, terdapat perbedaan laju masuknya modal asing. Indonesia merupakan satu-satunya negara ASEAN yang mengalami pelarian modal. Mengapa hal ini bisa terjadi? Bagaimana pola penanaman modal asing di ASEAN pada era AFTA? Pertanyaan tersebut menarik untuk dibahas.

ASEAN merupakan salah satu kawasan yang kaya dengan sumber daya alam dan manusia. ASEAN juga merupakan salah satu kawasan di dunia yang mencatat pertumbuhan ekonomi cukup tinggi. Tingginya pertumbuhan ekonomi ini tidak terlepas dari derasnya arus penanaman modal asing (foreign direct investment/FDI) ke negara-negara kawasan ini.

Arus penanaman modal asing ke ASEAN pada tahun 2001 meningkat 19,76 persen menjadi 13,24 miliar dollar AS dari 11,06 miliar dollar AS tahun 2000. Hal ini menunjukkan mulai membaiknya kepercayaan investor asing terhadap kawasan ini (Gambar 1).

Pada tahun 2001, hanya empat negara anggota ASEAN mengalami peningkatan penanaman modal asing, yaitu Singapura (naik 59,22 persen), Filipina (naik 44,40 persen), Thailand (naik 33,63 persen), dan Vietnam (naik 0,85 persen). Lima negara anggota ASEAN lainnya mengalami penurunan penanaman modal asing, yaitu Malaysia (turun 85,37 persen), Brunei Darussalam (turun 59,33 persen), Myanmar (turun 51,76 persen), Kamboja (turun 36,87 persen), dan Laos (turun 29,41 persen).

Adapun Indonesia sejak tahun 1998 sampai 2001 mengalami pelarian modal asing (Tabel 1). Sebagai contoh Sony Corporation, PT National Gobel telah memindahkan pabriknya dari Indonesia ke Malaysia. Bukan semata-mata karena situasi sosial politik Indonesia kurang kondusif yang menjadi penyebab hengkangnya investor asing dari negeri ini. Masih banyak lagi faktor penyebab, seperti makin banyaknya praktik pungutan liar (pungli), makin maraknya suap, makin maraknya premanisme, makin tingginya upah buruh, makin tingginya harga energi (listrik), dan kurang adanya insentif dari pemerintah bagi investor asing.

*Pasar yang besar

ASEAN Free Trade Area (AFTA), atau kawasan perdagangan bebas ASEAN, pertama kali dideklarasikan pada Januari 1992 bertujuan mengurangi hambatan tarif dalam perdagangan antarsesama anggota ASEAN. AFTA akan menyatukan perekonomian ASEAN menjadi satu wadah produksi dan membuat pasar regional tersendiri. Penurunan tarif ini diusahakan mencakup banyak produk dengan tarif tidak lebih dari lima persen. Hambatan nontarif perdagangan antarnegara ASEAN juga akan dihilangkan.

Sejak 1 Januari 2003, sebanyak 99,55 persen dari total tarif (44.361 tarif) enam negara pertama penanda tangan AFTA (Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, Filipina, dan Brunei Darussalam) telah diturunkan 0-5 persen. Produk-produk yang masih mempunyai tarif di atas lima persen hanya merupakan produk sensitif dan di luar dari daftar penurunan tarif. Rata-rata tarif dari enam negara anggota ASEAN tersebut telah turun menjadi 2,39 persen dari 12,76 persen ketika penurunan tarif dimulai tahun 1993.

Penurunan tarif 0-5 persen perdagangan antarnegara ASEAN untuk anggota baru dijadwalkan sebagai berikut; Vietnam pada tahun 2006, Laos dan Myanmar tahun 2008, serta Kamboja tahun 2010. Keseluruhan pada tahun 2003, dari sepuluh negara ASEAN, sebanyak 87,85 persen produk telah memiliki tarif 0-5 persen.

Dengan AFTA, kawasan Asia Tenggara menjadi satu pasar terintegrasi dengan potensial 500 juta jiwa. Ini membuat investor asing lebih tertarik untuk menanamkan modalnya di sini.

Dengan AFTA, investor asing dapat membangun pabrik baru di suatu negara ASEAN, dan menyuplai hasil produknya ke seluruh pasar ASEAN dari negara tersebut, tanpa harus menghadapi kendala tarif tinggi lagi. Negara yang akan dipilih tentu yang memiliki banyak keunggulan komparatif, di antaranya tersedianya sumber bahan baku berlimpah, tenaga kerja berlimpah dengan upah rendah, adanya industri serupa, kondisi sosial politik dan keamanan yang kondusif, tarif listrik murah, tidak adanya praktik pungli, suap dan premanisme, dan nilai tukar mata uang yang stabil.

*Pola FDI per industri

Dari data kumulatif nilai penanaman modal asing ke ASEAN berdasarkan industrinya (selain migas) tahun 1995- 2001, sebagian besar (23,5 persen) dari total investasi asing berada pada industri peralatan radio, televisi, dan komunikasi, sebanyak 23,3 persen di industri kimia dan produk dari kimia, serta 9,8 persen di industri kertas dan produk dari kertas. Kemudian 6,3 persen dari total investasi asing di ASEAN pada sektor manufaktur berada di industri logam dasar, 5,4 persen di industri karet dan produk dari plastik, 5,3 persen di industri produk-produk nonmineral logam lainnya, 4,1 persen di industri produk makanan dan minuman, 3,6 persen di industri mesin dan peralatannya, 3,4 persen di industri produk-produk logam kecuali mesin dan peralatannya, 2,7 persen di industri otomotif, dan sisanya di industri lainnya.

Dari sepuluh besar industri manufaktur yang menjadi primadona investor asing untuk menanamkan modalnya ke ASEAN di atas, sebagian besar merupakan industri dengan padat modal dan teknologi. Hal ini menunjukkan sebagian besar investor asing yang notabene merupakan negara industri maju (Jepang, AS, Taiwan) mulai merelokasikan pabriknya dari negara asal ke negara ASEAN untuk memanfaatkan AFTA.

Dari data yang dikeluarkan oleh Sekretariat ASEAN (Gambar 2), terlihat pada kurun waktu 1999-2001 penanaman modal asing yang masuk ke negara-negara ASEAN memiliki pola tertentu. Hal ini tentunya berkaitan dengan penentuan suatu negara yang akan dijadikan pusat produksi barang tertentu yang produksinya dipasarkan ke negara-negara ASEAN dengan memanfaatkan skema AFTA.

Untuk produk tekstil, yang merupakan salah satu produk andalan ekspor Indonesia, untuk periode tahun 1999-2001 investasi paling besar masuk ke Singapura (148,6 juta dollar AS), disusul Indonesia (14,5 juta), Filipina (3,7 juta), dan Thailand (2,1 juta). Dari data ini terlihat ada kecenderungan investor asing untuk menjadikan Singapura sebagai pusat industri tekstil ASEAN. Apabila ini berlangsung terus, Singapura dapat menjadi ancaman serius bagi Indonesia kelak.

Dalam industri furnitur, terlihat investor asing lebih tertarik menanamkan modalnya di Filipina. Dalam kurun 1999-2001, Filipina menerima FDI terbesar, yaitu 120,4 juta dollar AS, diikuti Singapura (44,5 juta), Malaysia (9,04 juta), dan Indonesia (1,45 juta). Indonesia perlu mewaspadai kemungkinan Filipina akan menjadi pusat produksi furnitur ASEAN. Hal ini dikhawatirkan dapat mengikis posisi Indonesia, yang notabene merupakan pusat furnitur.

Adapun untuk industri karet dan produk dari plastik, Malaysia merupakan negara dengan daya tarik tertinggi. Dalam kurun waktu 1999-2001 Malaysia menerima FDI terbesar, yaitu 133,34 juta dollar AS, diikuti Singapura (108,22 juta), Thailand (4,12 juta), dan Indonesia (1,88 juta). Dengan demikian, terlihat untuk industri karet, Indonesia kalah menarik bagi investor asing dibandingkan Malaysia, Singapura, dan Thailand, walaupun Indonesia memiliki perkebunan karet dan potensi lahan yang luas.

Untuk industri otomotif, arus penanaman modal asing dalam kurun waktu tahun 1999-2001 sebagian besar masuk ke Malaysia (63,09 juta dollar AS), diikuti Singapura (12,89 juta), dan Thailand (11,95 juta). Sementara Indonesia tidak menerima FDI sama sekali pada periode itu. Walaupun demikian, dalam perkembangan terakhir (tahun 2003), produsen otomotif Honda telah menanamkan modalnya di Indonesia untuk mendirikan pabrik otomotif yang akan memproduksi mobil jenis multiple purpose vehicle (MVP) yang akan dipasarkan ke ASEAN. Kelihatannya, untuk industri otomotif, perusahaan multinasional memilih membuat sentra produksi di beberapa negara ASEAN.

Diperkirakan pasar otomotif ASEAN ini akan tumbuh 30 persen sampai tahun 2008, yaitu sekitar 1,8 juta unit dibandingkan angka penjualan otomotif tahun ini yang diperkirakan sekitar 1,377 juta unit. Pertumbuhan yang cukup tinggi ini, ditambah pasar ASEAN masih dinamis, akan menarik lebih banyak investor asing untuk menanamkan modalnya pada industri otomotif ini.

Dengan melihat angka-angka (Tabel 2), pertanyaannya, mengapa arus masuk FDI ke Indonesia sejak tahun 1998 menjadi negatif (disinvestment) atau adanya pelarian modal asing? Mengapa sektor-sektor industri yang menjadi primadona ekspor Indonesia justru kurang diminati investor asing? Mengapa sampai sekarang modal asing sulit masuk ke Indonesia?

Pemerintah Indonesia harus lekas bercermin. Apakah ada yang kurang untuk menarik investasi asing seperti sebelum krisis? Perkembangan indikator makro-ekonomi Indonesia, terlihat adanya perbaikan, di antaranya kurs rupiah relatif stabil, inflasi terkendali, suku bunga cenderung turun, ekspor meningkat, dan pertumbuhan ekonomi mulai membaik. Akan tetapi, data-data investasi terakhir masih menunjukkan belum adanya minat yang tinggi dari investor asing untuk masuk ke Indonesia. Ini menunjukkan masih adanya hambatan.

Banyak hal yang harus diperbaiki pemerintah. Salah satunya yang paling mendesak adalah menciptakan keadaan sosial, politik, keamanan yang kondusif, menjamin kepastian hukum. Pemerintah harus memberantas segala pungutan liar, praktik suap dan premanisme yang dapat menciptakan ekonomi biaya tinggi, mencabut peraturan daerah maupun pusat yang menghambat investasi asing, memperpendek jaringan birokrasi, dan memberikan insentif bagi investor asing.

Perlu dibuat peringkat suatu daerah berdasarkan kelayakan investasi. Dengan adanya peringkat ini, akan diketahui daerah mana yang memiliki iklim investasi yang baik dan daerah mana yang buruk iklim investasinya. Daerah yang memiliki peringkat rendah akan terpacu untuk memperbaiki kekurangannya. Peringkat ini juga akan memberikan informasi awal bagi investor asing yang ingin berinvestasi di suatu daerah.

Read more

Sejarah Pemerintahan Perancis

Aux armes, citoyens, To arms, citizens,
Formez vos bataillons, Form your battalions,
Marchons, marchons ! Let's march, let's march !
Qu'un sang impur, May an impure blood
Abreuve nos sillons ! Water our furrow !

-----------------------------

Di bawah konstitusi tahun 1791, Perancis menjalankan bentuk pemerintahan secara monarki konstitusional yaitu Raja membagi kekuasaan dengan anggota legislatif yang terpilih, namun demikian pihak kerajaan masih memiliki hak veto atas keputusan legislatif ataupun hak dalam melakukan pemilihan terhadap menteri di kabinet. Anggota legislatif sendiri melakukan sidang pertama kali pada tanggal 1 Oktober 1971.

Secara umum anggota legislatif Perancis terdiri dari 165 orang kaum Feuillants (monarki konstitusional) atau yang dikenal sebagai sayap kanan, 330 Girondists (liberal) dan Jacobins (revolusioner) yang dikenal sebagai sayap kiri serta 250 orang yang tidak berafiliasi kepada aliran politik apapun. Dalam prakteknya, beberapa keputusan Raja Louis XVI yang memveto hasil keputusan legislatif, membuat sebagian besar anggota legislatif terutama dari sayap kiri merasa tidak puas dan hal inilah yang kemudian menyulut krisis konstitusional di kemudian hari.

Krisis ini semakin diperparah ketika Perancis memutuskan berperang dengan Austria. Louis XVI dan kaum Feuillants sangat menginginkan perang agar dapat meningkatkan popularitasnya kembali setelah kejatuhannya sebagai monarki mutlak akibat kerusuhan massal di tahun 1789 menyusul krisis ekonomi dan finansial hampir di seluruh Perancis. Demikian pula dengan kaum sayap kiri Girondists juga menginginkan perang untuk menyebarkan ide revolusi ke seluruh Eropa yang pada waktu itu didominasi oleh pemerintahan feodal-monarki.

Tanggal 20 April 1792, pasukan Perancis berhasil menduduki Austria-Belanda (sekarang Belgia) namun berhasil dipukul mundur oleh pasukan gabungan Austria-Prusia di bulan Juli 1792 yang kemudian masuk ke wilayah Perancis di akhir bulan. Pimpinan tertinggi pasukan Austria-Prusia, Charles William Ferdinand atau yang lebih dikenal sebagai Duke of Brunswick, mengultimatum rakyat Perancis agar tidak menyakiti keluarga kerajaan (Louis XVI dan keluarga). Ultimatum ini dikenal sebagai “The Brunswick Manifesto”, dimaksudkan karena dua hal, yang pertama mencegah revolusi kaum republik yang terjadi menggantikan monarki dan yang kedua, istri Louis XVI, Marie Antoinette, adalah bangsawan Austria.

Akibat ultimatum itu kaum sayap kiri Perancis, terutama kaum Jacobins, menjadi marah dan menduga telah terjadi persekongkolan antara Louis XVI dengan Kerajaan Austria untuk menggulingkan kaum republik. Malam hari tanggal 10 Agustus 1792 di bawah pimpinan Georges Danton, kaum Jacobins dan rakyat Perancis menyerang Istana Tuileries dimana Louis XVI dan keluarganya tinggal. Setelah ditangkap Raja beserta keluarganya dimasukan ke dalam penjara, dan semenjak peristiwa itulah praktis monarki di Perancis berakhir.

Kepemimpinan Perancis kemudian digantikan oleh “Konvensi Nasional” yang dibentuk pada tanggal 20 September 1792, keanggotaannya merupakan hasil dari kompromi dari anggota-anggota legislatif Perancis. Secara “de facto” kekuasaan eksekutif Konvensi Nasional dijalankan oleh suatu komite yang disebut sebagai “Komite Keselamatan Publik”

Nasib Louis XVI dan keluarganya pun berakhir tragis. Dengan perbandingan suara 361 dan 288 di Konvensi Nasional, ia dijatuhi hukuman mati pada tanggal 17 Januari 1793 dengan tuduhan konspirasi terhadap kemerdekaan public dan keselamatan nasional. Ia dieksekusi dengan “guillotine” pada tanggal 21 Januari 1793 di Place de la Concorde.

Meski tampuk monarki telah berakhir, kaum Republik dihadapkan pada berbagai permasalahan, ada 3 permasalahan utama yang dihadapi Perancis : perang, harga-harga bahan makanan pokok yang sangat tinggi dan pemberontakan “sans-culottes” (pekerja miskin dan kaum Jacobins yang sangat radikal).

Melihat situasi yang semakin tidak kondusif, pada tanggal 2 Juni 1793, Jacques Hebert, seorang tokoh kaum republik yang revolusioner, dengan didukung oleh pihak militer, mengambil alih Konvensi Nasional dan menangkap kaum Girondists yang diduga sebagai pemicu berbagai macam krisis di Perancis setelah monarki.

Dengan ditangkapnya anggota-anggota sayap kiri moderat praktis Konvensi Nasional didominasi oleh kaum Jacobins (Revolusioner), Komite Keselamatan Publik pun direstrukturisasi pada tanggal 10 Juli 1793, dimana George Danton dan Maximilien Robespierre (keduanya sebagai anggota Jacobins) adalah tokoh yang mendominasi komite tersebut. Karena secara “de facto” Komite Keselamatan Publik adalah komite yang memegang kekuasaan eksekutif di Perancis, ‘maka mereka didaulat sebagai dwitunggal “pimpinan” Perancis pada saat itu’

Robespierre menjalankan pemerintahan dengan tangan besi untuk mengatasi krisis nasional di Perancis, hal ini bertambah parah dengan peristiwa terbunuhnya Jean Paul Marat anggota Jacobins terkemuka oleh Girondists, yang menyebabkan pertikaian antar kaum republik sayap kiri semakin meluas. Sejarah mencatat sekitar 16.000 orang dihukum mati dengan “guillotine” di masa pemerintahannya. Ia pernah mengatakan,

“To punish the oppressors of humanity is clemency; to forgive them is barbarity”

Apa yang dilakukan oleh Robespierre ini pada akhirnya ditentang oleh Danton yang menghendaki permasalahan krisis diselesaikan dengan jalan yang lebih moderat. Namun Robespierre menjelaskan kepada Danton, “an end of the terror as meaning the loss of political power”. Dan untuk menghilangkan kerikil tajam dari kalangan internal Jacobins, tanggal 30 Maret 1794, Georges Danton ditangkap dan kemudian dihukum mati dengan “guillotine” pada tanggal 5 April 1794.

Setelah mengeksekusi Danton, Robespierre membangun “kerajaan”nya sendiri, dia menggunakan pengaruhnya melalui Lescot dan de Payan untuk menguasai Jacobins di Konvensi Nasional serta menguasai militer melalui pengikutnya yang bernama de Saint-Just. Demikianlah usaha dari Robespierre secara politik dan militer untuk memenuhi ambisinya sebagai penguasa di Perancis.

Namun kematian Danton, tidak berakhir begitu saja. Anggota Jacobins pendukung Danton menggalang anggota Konvensi Nasional yang lain untuk meminta pertanggungjawaban Robespierre atas tuduhan bertindak diktator dan tirani. Pada tanggal 26 Juli 1794, Robespierre selama dua jam lebih melakukan pembelaan di depan anggota Konvensi Nasional. Keesokan harinya de Saint-Just melakukan tindakkan yang sama, yaitu melakukan pembelaan terhadap Robespierre.

Sidang Konvensi Nasional pun semakin panas, Robespierre dan de Saint-Just dicecar pertanyaan oleh para lawan politiknya hingga seseorang anggota Konvensi Nasional berteriak,

“The blood of Danton chokes him !”

Akhirnya Konvensi Nasional memerintahkan militer untuk menangkap Robespierre dan de Saint-Just serta para kroninya. Tanggal 28 Juli 1794, Robespierre dihukum mati dengan menggunakan “guillotine” tanpa melalui proses pengadilan. Setelah kematianya kaum sayap kiri Girondists kembali ke tampuk pemerintahan.

Disarikan dari :

(1) http://en.wikipedia.org/wiki/French_Revolution
(2) http://en.wikipedia.org/wiki/Georges_Danton
(3) http://en.wikipedia.org/wiki/Maximilien_Robespierre

Read more

Menakar Fugsi Pemilu bagi masyarakat

Dalam mazhab Gramscian, ada idiom yang mengatakan, kalangan terdidik atau cendekiawan harus memihak dengan kelas atau suatu kelompok tertentu dan hal ini sering diterjemahkan oleh para politisi dengan mengatakan, kekuasaan sesungguhnya bukan untuk kekuasaan semata, tetapi untuk memberikan kesejahteraan yang diamanatkan konstitusi. Kepada rakyatlah ujung dari kekuasaan itu harus berakhir. Artinya, penyelenggaraan pemilu yang menelan biaya ratusan miliar rupiah dari uang rakyat yang terhimpun dalam APBN, dan pasti lebih besar lagi yang dikeluarkan dari kas partai dan kantong caleg, idealnya didedikasikan untuk menyejahterakan rakyat. Namun sayangnya bentuk perhatian serta keberpihakan para caleg serta partai politik ini seringkali diimplemantasikan di saat di masa masa kampanye.

Pada dasarnya fungsi pemilu diadakan di sebuah Negara ada beberapa hal, yang antara lain : 1. Membuat sebuah kebijakan yang baru yang lebih progresif, 2. Adanya upaya untuk membuat tercitrakan nya posisi dewan perwakilan secara positif dimata masyarakat. Namun hal ini dengan adanya praktek money politics telah membuat sebuah implikasi negatif terhadap masyarakat dan kinerja aparatus Negara. Dalam membuat sebuah sebuah Negara yang ideal, fungsi partai dan legislator adalah sebagai pengemban amanat masyarakat dan media kontrol perjalanan pemerintahan sebuah rezim. Namun dengan adanya praktek politik uang maka fungsi fungsi ini pun mulai luntur dari tanggung jawab para partai politik serta para legislator. Dengan adanya praktik politik uang, maka cara anggota legislatif merasa ada sebuah usaha keras yang mereka lakukan untuk meraih simpati warga. Usaha disini memiliki pengertian sebagai bahwasanya untuk meraih kursi mandat tersebut maka bukanlah usaha untuk meraih kepercayaan dengan mengedepankan rencana program lima tahunan kepada konstituen melainkan “memanjakan” rakyat dengan memberikan kebutuhan pragmatis terhadap masyarakat.

Kalau seluruh elemen Bangsa ini mau jujur maraknya praktik politik uang dari tiap diadakannya pesta demokrasi maka ada sebuah fakta yang memperlihatkan bahwasanya apparatus Negara hanyalah memfungsikan masyarakat di saat saat Negara butuh akan adanya kas kas pemasukan dari sector pajak, retribusi serta pungutan lain. Dengan adanya bentuk permarjinal an posisi masyarakat terhadap kehidupan ber Negara ini, maka muncul sebuah sikap “balas dendam” serta apatisme rakyat terhadap partai dan fungsinya. Rakyat melihat di momen pemilu lah mereka dapat merasakan hasil dari uang uang mereka yang dikumpulkan oleh Negara untuk membiayai pembangunan. Banyak ketidak percayaan masyarakat terhadap hasil dari pelaksanaan Pemilu yang akan berkorelasi posistif terhdap perbaikan nasib mereka.

Memang untuk mengubah persepsi yang telah mulai menjadi tradisi dalam rutinitas masa kampanye untuk mendapatkan dukungan masyarakat dengan jalan jual beli suara di Indonesia menjadi tugas berat partai politik. Namun apabila tidak segera dimulai hari ini maka bentuk Negara, aparatus Negara yang ideal akan sangat susah untuk kita dapatkan untuk menyelamatkan Negara ini dari kegoncangan. Oleh karena itu, apabila Pemilu dipakai sebagai sarana untuk membuat adanya perubahan kebijakan yang lebih baik dari rezim sebelumnya, maka pada tahapan inilah seluruh kontestan pemilu perlu untuk benar benar menegakkan hukum dan perundangan yang berlaku, begitu pula dengan lembaga penyelenggara pemilu. Kalau saja ada partai yang memang benar benar mengimplementasikan hal ini tidak hanya sekedar klaim maka partai inilah yang saya pilih.


Read more

kemanakah arah Pendidikan Indonesia????

Dalam sebuah karya yang sangat monumental, yakni Madilog, Tan Malaka menyatakan “ Ilmuwan Indonesia, janganlah bermimpi akan bisa leluasa berkembang selama Pemerintah Indonesia masih dikendalikan, dipengaruhi oleh Negara Negara lain yang berdasarkan paham kapitalisme. Kemerdekaan sejati dari sains, sehidup semati dengan kemerdekaan Negara”. Dari pernyataan tersebut, tersurat makna bahwasanya modal dari Negara untuk dapat mendapatkan posisi tawar yang kuat dari Negara lain, mandiri secara ekonomi serta berdaulat dalam politik salah satunya ditentukan oleh faktor pendidikan. Pendidikan yang berkualitas serta memberikan ruang kebebasan bagi manusia untuk mengenali esensi dari sebuah realitas, merupakan sarana yang berpengaruh untuk membentuk karakter bangsa yang kuat. Dari hal ini, marilah kita merefleksikan realitas pendidikan di Indonesia saat ini dengan harapan dari para cerdik cendia yang tetap setia di garis massa.

Seperti yang telah kita bersama sejak masuk kembali menjadi anggota Bank Dunia tahun 1966, maka Pemerintah Indonesia pun mendapatkan sebuah “fasilitas” hutang luar Negeri yang dikucurkan oleh pihak lembaga multilateral internasional seperti, ADB, IMF, World Bank, dll. Dalam setiap persyaratan hutang luar Negeri, seperti yang telah kita ketahui bersama selalu akan disertai dengan bentuk bentuk penyesuaian kebijakan maupun juga kondisi lainnya dari Negara penghutang yang dalam hal ini telah mengakibatkan banyaknya kebijakan kebijakan publik yang tidak menghargai masyarakat sebagai pemberi amanat dari Negara. Dalam konteks pendidikan dan modal dari luar Negeri baik yang berupa, hutang, hibah serta lain sebagainya, ada ketidak sinkronan arah. Pendidikan yang dalam esensinya bertujuan untuk meningkatkan harkat serta martabat manusia, dengan adanya persyaratan atas hutang luar Negeri berimplikasi pada pendidikan untuk melayani kebutuhan tenaga kerja murah sebagai basis kapitalisme.

Oleh karena adanya hal ini maka tidaklah mengherankan menurut saya apabila di Indonesia metode pengajaran serta manajemen pendidikan yang diimplementasikan adalah pendidikan yang bergaya kapitalis yang diatur oleh Negara Negara maju sesuai dengan tuntutan terciptanya buruh murah. Hal ini dapat kita tilik dari, metode pendidikan di Indonesia yang lebih menekankan pada konsep guru mengajar murid diajar, dimana disini peserta didik tidak diberikan sebuah kesempatan untuk mengetahui esensi dari realitas dengan maksimal atau dengan kata lain, pendidikan tidak memberikan kesempatan bagi siswa untuk melakukan rasionalisasi dari sebuah hal dengan maksimal. Misalnya saja dalam air telah diketahui bahwasanya mengandung hydrogen serta oksigen, maka penjelasan dan apa yang diketahui oleh murid hanyalah berhenti pada titik itu, sedangkan kenyataan akan adanya perbandingan 88,9% dan 11,1% dari oksigen dengan hydrogen tidak pernah diungkapkan oleh pengajar, sedangkan secara psikologis murid telah terbiasa dengan, apa yang dikatakan oleh guru adalah kebutuhan yang telah cukup tanpa perlu untuk mencoba menelusuri lebih jauh sebuah realitas dari sebuah hal maupun benda.

Dari sekelumit contoh realitas diatas maka, ada beberapa hal yang harus kita coba pahami sehingga pada pergantian rezim Pemerintah yang berkuasa mendatang maka masyarakat pun akan lebih tegas dalam bersikap maupun sikap masyarakat dalam mencermati bentuk pendidikan pun tidak hanya terpaku pada sikap sekolah adalah investasi, dalam artian ketika lulus maka peserta didik akan mendapatkan pekerjaan yang layak. Dalam hal ini bentuk pola pikir masyarakat yang seperti ini diciptakan oleh para pembuat kebijakan untuk menghamba terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang lebih ditopang oleh investasi asing.

Sikap dari para pembuat kebijakan maupun pihak yang dekat dengan arena pembuatan kebijakan di Indonesia untuk lebih mengutamakan pendidikan yang berbasis pada lokanitas serta eksplorasi ruang dialektika peserta didik merupakan salah satu jawaban atas ter-aleniasinya manusia Indonesia atas wahana pendidikan yang ada. Selain melakukan perubahan atas metodogi pendidikan, Pemerintah juga memiliki tanggung untuk membulatkan tekad secara politis (politicall will) untuk meningkatkan mutu serta kualitas pendidikan. Hal ini meminimalisir hutang baru yang akan diambil serta berhati hati dalam mengambil hutang baru. Di Indonesia telah terjadi apa yang disebut dengan debt over hang, dimana dalam hal ini Pemerintah akibat terlalu banyak mengambil hutang luar Negeri maka Pemerintah pun akhirnya kesulitan untuk keluar dari jeratan hutang yang telah menyumbang berbagai problematika bagi kehidupan BerNegara di Indonesia.

Sungguh ironis sekali ketika saat ini ada sebuah kenyataan bahawasanya manusia Indonesia harus menjadi budak di Negara nya sendiri untuk melayani kebutuhan buruh murah dari investor asing. Oleh karena itu, ada sebuah kesepahaman dari masyarakat Indonesia akan arti penting dari pendidikan, yang antara lain; 1. Meluruskan cara berpikir, agar dapat sistematis dalam menyelesaikan sebuah masalah maupun melakukan rasionalisasi atas sebuah realitas, 2. Melakukan penyusunan bukti, 3. Melakukan generalisasi atau penyederhanaan. Dengan lebih menekankan pada tiga titik ini maka setidaknya akan mengikis sikap darimasyarakat Indonesia yang lebih mengutamakan pendidikan untuk kepentingan investasi pribadi.

Read more