Gurita Globalisasi di Indonesia

Dengan datangnya reformasi di Indonesia maka ada sebuah angin segar bagi masyarakat Indonesia untuk dapat menghirup udara kebebasan dalam hal hal berdemokrasi, berserikat dan berkumpul. Hak social politik masyarakat Indonesia yang telah lama terkungkung oleh system otoritarianisme menjadi terbuka dengan datangnya era reformasi. Namun dibalik euphoria masyarakat di era reformasi ini ada tantangan terbesar dari bangsa ini yang telah secara aktif terjebak dalam arena globalisasi. Globalisasi secara harfiah memiliki makna terbukanya sekat sekat dari Negara Negara yang ada di dunia sehingga lalu lintas perdagangan dapat terjadi secara bebas daan aktif.

Dengan meningkatnya lalu lintas perdagangan di sebuah Negara maka laju investasi dari luar negeri ke Negara lainnya khususnya dari Negara maju ke Negara berkembang pun makin massif. Pergerakan investasi yang makin meningkat di sebuah Negara dapat bersifat negatif serta dapat bersifat positif. Namun dari pengalaman sejarah yang terjadi di Indonesia peningkatan nilai investasi lebih mengakibatkan adanya penurunan daya proteksi Negara terhadap masyarakat serta dilarikannya keuntungan dalam Negeri ke Negara asal investor. Peningkatan investasi di Indonesia yang lebih banyak dimotifasi keinginan untuk mencari buruh murah oleh para pemodal serta melakukan eksploitasi sumber daya alam di Indonesia merupakan buah dari gerakan globalisasi ekonomi yang telah memposisikan diri menjadi panglima dalam Negara.

Secara tidak sadar ketika kita digiring untuk melaksanakan euoforia di era reformasi yang ditandai dengan jatuhnya tingkat ekonomi Indonesia maka perangkap globalisasi pun makin menganga. Di era reformasi ada sebuah kewajiban pemerintah pusat untuk memberikan kesempatan seluas luasnya kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemeritahannya sendiri serta menciptakan kemandirian dalam menacari sumber keuangan daerah (desentralisasi). Apabila kita lihat hal ini dari sudut pandang politik desentralisasi merupakan hal yang berimplikasi positif karena pemerintah daerah dapat mengembangkan wilayahnya sesuai dengan konteks social budayanya dan tak lupa kondisi geografisnya. Namun dalam urusan modal yang didapatkan oleh sebuah wilayah maka pemerintah pusat juga memberikan kesempatan seluas luasnya kepada daerah untuk mencari dana pembangunan baik dengan meningkatkan pengelolaan, pengolahan sumber daya alam maupun melalui pencarian sumber hutang baru baik yang berasal dari dalam Negeri maupun luar negeri. Dengan adanya pemberian kesempatan ini maka telah terjadi globalisasi modal (capital) di daerah sehingga akan mengakibatkan makin meningkatkannya pula ketergantungan serta keterbelakangan dari Indonesia terhadap Negara maju.

Dalam persyaratan hutang yang selalu mencantumkan persyaratan atau penyesuaian struktural maka Negara Negara penghutangpun haruslah melakukan persyaratan tersebut. Dalam hal ini biasanya adalah dibukanya kesempatan bagi kaum investor untuk dapat mengembangkan usahanya baik secara kongkrit aplikasinya adalah dengan meminimalisirkan hambatan bagi kelompok investor. Sedangkan sebagai bukti komitmen dari pemerintah dalam memfasilitasi investor maka tugas dan kewajiban dari pemerintah adalah menyediakan infrastruktur yang mendukung kelancaran investasi. Infrastruktur ini misalnya saja jalan raya, pembangkit tenaga listrik.

Pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir di semenanjung muria adalah sebagai bukti adanya upaya pemerintah dalam memberikan fasilitas bagi investor. Selain itu apabila kita memakai perspektif kapitalisme semu seperti yang telah diutarakan oleh Yoshihara Kunio, pemeritah di Negara berkembang akibat tidak berjalannya system kapitalisme sesuai dengan sifat dasarnya yakni pemberian kesempatan seluas luasnya kepada seluruh elemen masyarakat tanpa adanya pembedaan kelas. Sifat kapitalisme yang kerdil telah mengaitkan kaum pembuat kebijakan selalu kalah dalam loby dengan para pemodal sehingga kebijakan serta perencanaan pembangunan tidak lagi untuk menciptakan sebuah kumparan pembangunan yang bersifat berkelanjutan namun pembangunan di Indonesia yang lebih mengikuti kepentingan kaum investor.

Globalisasi keuangan yang khususnya adalah modal luar negeri kecenderungan globalisasi dari membanjirnya barang-barang impor, sehingga menempatkan produk domestik tidak dapat bersaing dan ekspor menjadi tidak berkembang. Kedua efek globalisasi pada pembayaran netto pendapatan faktor luar negeri yang cenderung defisit. Hal ini akibat dari investasi asing keterkaitan dengan aliran pembayaran keuntungan atau pendapatan “investasi” ke luar negeri. Aspek stabilisasi perbankan, lebih disebabkan efek globalisasi terhadap aliran investasi “modal” portopolio, yaitu pada partisipasi dana asing ke pasar saham. Dimana “fluctuation” pasar saham berkorelasi terhadap nilai mata uang domestik. Ketidaktetapan di sektor keuangan jelas membawa pengaruh pada stabilitas kegiatan ekonomi nasional. Sementara aspek keempat, adalah akumulasi dari seluruh aspek di atas. Macetnya sektor industri dalam negeri, buruknya neraca pembayaran dan tidak stabilnya perbankan Indonesia jelas berdampak pada ketidakstabilan pertumbuhan ekonomi. Dan dalam jangka panjang akan mengurangi laju pertumbuhan ekonomi nasional secara keseluruhan. Dari perkembangan dan tuntutan globalisasi di atas, bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia tentu saja menjadi masalah yang secara simultan akan mempengaruhi modal domestik dan produk dalam negeri. Terlebih bila diletakan pada kualitas barang prokduksi dalam negeri yang kurang baik dan beban biaya produksi di Indonesia yang cukup tinggi.
Realita produk tersebut jelas akan berlanjut pada tingkat persaingan barang produksi “perusahaan” Indonesia menjadi tidak maksimal. Kekalahan kompetitif ini tidak saja disebabkan oleh tingkat kualitas barang yang dihasilan tetapi juga pada harga. Barang produksi luar, disamping harga yang murah dan terjangkau oleh daya beli masyarakat tetapi dibarengi dengan kualitas produksi yang baik. Bahkan kenyataan komparatif tersebut dikuatkan legi oleh “selera-konsumen” masyarakat Indonesia –terutama kelompok elite-- yang cenderung menyukai barang produk impor, sehingga makin memperparah keberadaan barang produksi dalam negeri.
Disinilah globalisasi perekonomian dan perdagangan merupakan keniscayaan bagi perekonomian Indonesia, sehingga membutuhkan pilihan sikap untuk mencermati secara komprehensif. Disamping itu diperlukan sinergisitas dari kelompok kepentingan terkait dalam menentukan pilihan pemberdayaan produksi Indonesia, yaitu antara pemerintah, pelaku usaha Indonesia dan masyarakat. Hal ini tentu dengan mempertimbangkan bahwa 225 juta jumlah penduduk Indonesia adalah pasar domestik yang potensial. Bagaimana political will pemerintah terkonsentrasi pada kemungkinan pemberdayaan perekonomian nasional, khususnya mengenai kebijakan-kebijakan dalam upaya peningkatan produktivitas usaha mikro, kecil dan menengah. Sedikitnya pada “enam langkah” yang diungkap SBY, Pertama, dengan melakukan pemetaan dunia usaha sebagai pengetahuan dasar potensi keunggulan komparatif dan kompetitif. Dalam hal ini pemerintah membentuk pusat data dan trade house. Kedua, penetapan kebijakan fiskal yang kondusif terhadap iklim usaha, yaitu kemudahan pelayanan pajak dan perolehan kredit. Ketiga, penyediaan bantuan dalam percepatan perkembangan usaha, yaitu pemodalan. Keempat, dorongan dan perlindungan usaha. Seperti pada perkembangan usaha sektor informal sebagai unit penyangga ekonomi masyarakat. Kelima, adalah pengendalian modal asing serta produk impor, mengingat globalisasi perdagangan pada fase tertentu menghancurkan ekonomi dalam negeri. Keenam, membangun gerakan loyalitas konsumen dalam negeri untuk produksi dalam negeri, pada kemampuan untuk menginformasikan barang-barang produksi domestik. Dalam langkah ini peran para pengusaha lokal meningkatkan kualitas barang produksinya, sekaligus membangun kepercayaan pasar masyarakat.
Sementara pada posisi masyarakat, yaitu tidak lagi sebatas “rela” membentuk selera konsumeristiknya berdasar solidaritas berbangsa, melainkan tumbuh kebanggaan terhadap produk “made in” Indonesia mengingat secara mutu dapat bersaing dengan produk asing. Namun satu hal yang penting untuk dikedepankan adalah “tauladan” kita untuk bersikap mencintai dan membeli produksi Indonesia, sikap sebagai pilihan pada nilai nasionalisme dan kebangkitan ekonomi pribumi, sebagai pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan.


0 komentar:

Posting Komentar