MODEL-MODEL DEMOKRASI
(Oleh: Eric Hiariej)
Apa prinsip prinsip demokrasi yang paling mendasar? Jika kita melakukan pengamatan sederhana terhadap opini publik yang berkembang di Indonesia dalam sekitar satu dekade terakhir “kebebasan” (liberty) dan “persamaan” (equality) merupakan dua prinsip yang paling sering dibicarakan. Ada anggapan tanpa pengakuan terhadap hak dan kebebasan individu dan kelompok dan tanpa perlakuan yang sepadan bagi setiap orang demokrasi tidak mungkin berkembang. Tapi soalnya tidak segampang itu. Pertama, sekalipun kebebasan adalah prinsip yang tidak bisa ditawar pertanyaannya adalah mana yang lebih perlu ditonjolkan, apakah bebas dari ancaman, bebas dari penindasan atau bebas dari rasa lapar? Begitu pula persamaan macam apa yang perlu diutamakan, apakah model “sama rata sama rasa” atau perlakuan sepadan berdasarkan kontribusi dan usaha yang diberikan masing-masing individu dan kelompok? Boleh jadi semua aspek kebebasan bisa diterima. Namun dalam praktiknya upaya mewujudkan situasi bebas dari ancaman misalnya kerap kali mengehendaki beberapa pembatasan dalam perilaku dan aktivitas masyarakat yang bisa dilihat sebagai bentuk pelanggaran terhadap aspek kebebasan lainnya. Kedua, kebebasan dan persamaan juga bukan kedua prinsip yang bisa dengan mudah didamaikan. Sering persamaan baru bisa benar-benar diwujudkan setelah sejumlah hal mendasar yang berkaitan dengan hak dan kebebasan dikompromikan. Ketiga, kedua prinsip ini belum menyentuh beberapa aspek kehidupan sosial lain yang sama pentingnya. Sebagai contoh, bagaimana orang bisa menuntut kebebasan dan persamaan jika keselamatan hidupnya sendiri tidak terjamin?
Lalu bagaimana kerumitan ini dipahami? Pertama-tama prinsip-prinsip demokrasi—seperti kebebasan, persamaan, majority rule, pluralisme, toleransi, keadilan, hukum dan keteraturan, akuntabilitas publik, tranparansi, rule of law dll.—sebaliknya tidak dilihat sebagai konsep-konsep yang netral dan universal. Setiap orang memiliki preferensi yang berbeda tentang prinsip apa yang dianggap paling utama. Pertanyaan untuk apa sebuah masyarakat memerlukan demokrasi dan digunakan untuk kepentingan apa menjadi penting dan relevan. Sebab jawaban terhadap pertanyaan ini akan menjelaskan mengapa di sebuah masyarakat prioritas yang lebih besar diberikan pada, misalnya, prinsip keamanan dan ketertiban sosial sementara di masyarakat lainnya prinsip keadilan dan kesejahteraan sosial menempati urutan teratas. Jawaban ini juga membantu kita memahami keterkaitan antara satu prisnip dengan prinsip lainnya dalam sebuah model demokrasi tertentu.
Mengapa demokrasi diperlukan? Bagi masyarakat yang menempatkan keamanan (security) sebagai nilai bersama yang paling mendasar demokrasi diperlukan karena sistem ini bisa menegakkan stabilitas sosial, menciptakan ketentraman dan membawa rasa aman. Demokrasi bukan saja membuat masyarakat mampu mempertahankan dirinya terhadap ancaman yang datang dari luar, tapi juga membina hubungan yang damai antar sesama warga.
Secara filosofis demokrasi model ini berpijak pada cara pandang yang menggambarkan manusia sebagai makhluk yang secara naluriah selalu bersaing dan saling menyingkirkan satu sama lain. Naluri konflik melahirkan masyarakat yang penuh dengan perselisihan dan perang di satu sisi dan kebrutalan dan kekerasan di sisi lainnya. Setiap orang tidak bisa hidup dengan tenang karena keberadaannya dirinya selalu berada di bawah ancaman pihak lain. Akibatnya nilai-nilai seperti kebebebasan dan keadilan menjadi terabaikan, sedangkan kemakmuran dan kesejahteraan sosial menjadi tidak menentu. Kondisi yang tidak menguntungkan ini baru bisa diatasi setelah tegaknya sebuah bentuk kedaulatan yang mampu menciptakan orde sosial secara ke dalam dan kekuatan pertahanan yang tangguh dalam menghadapi pihak luar.
Secara historis masyarakat yang terobsesi dengan keamanan sebagai nilai bersama yang paling hakiki adalah masyarakat yang umumnya mewarisi konflik sosial dan perang di masa lalu yang membawa trauma sejarah yang membekas kuat. Masyarakat semacam ini melihat demokrasi sebagai wujud kontrak sosial antar sesama warga untuk membentuk kekuasaan politik yang mampu menjamin situasi aman dan damai. Agar otoritas tersebut bisa berfungsi optimal kesediaan setiap anggota masyarakat mengekang sebagain hak dan kebebasannya—terutama yang memungkinkannya bertabrakan dengan hak dan kebebasan orang lain dan karenanya menjadi sumbu konflik—menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kontrak sosial. Kewajiban mengekang diri juga menjadi harga mati sebab hanya dengan itu semua anggota masyarakat bisa tampil solid dalam menghadapi ancaman dari luar.
Negara beserta aparaturnya merupakan agen sentral dalam menjamin keamanan. Negara bukan saja membangun sistem pertahanan yang tangguh tapi juga menegakkan hukum dan ketertiban. Karenanya negara merupakan cerminan kehidupan damai dan beradab itu sendiri. Individu dan kelompok mewakili sisi buruk, selalu memiliki potensi konflik dan kekerasan. Untuk itu setiap individu dan kelompok harus mengutamakan kewajibannya sebagai warganegara yang baik dalam bentuk pengutamaan situasi aman dan damai di atas kepentingan pribadi dan parokialnya. Artinya, jika bertentangan dengan nilai keamanan yang menjadi kemaslahatan bersama, kepentingan personal dan kelompok yang dikalahkan. Di sini nilai-nilai seperti kebebasan, persamaan, kemakmuran, dan keadilan tetap dipandang penting. Namun perwujudan nilai-nilai tersebut hanya bisa dilakukan jika masyarakat sudah terbebas dari konflik dan kekerasan. Pengutamaan kewajiban di atas hak-hak pribadi—dan karenanya pengutamaan peran negara, sektor publik dan kemaslahatan bersama—merupakan bagian dari kontrak sosial dan harga yang harus dibayar setiap orang demi kehidupan yang bebas, sederajat, makmur dan sejahtera. Peran dominan negara dan pentingnya kewajiban setiap orang dalam menjamin keamanan bersama kemudian menjadi basis pengorganisasisan lembaga-lembaga politik dan perundang-undangan.
Masyarakat yang menempatkan kebebasan sipil (civil liberty) sebagai nilai bersama yang paling mendasar melihat demokrasi dengan cara yang berbeda. Masyarakat ini memerlukan demokrasi untuk melindungi dan menjamin kebebasan dan hak-hak warganya. Tirani dan semua bentuk kekuasaan politik yang bersifat absolut selalu dipandang sebagai ancaman. Demokrasi karenanya kerap diidentikkan dengan upaya mengendalikan dan membatasi kekuasaan negara.
Kewarganegaraan (citizenship) merupakan prinsip penting. Menurut prinsip ini segala bentuk kekuasaan politik baru dianggap tidak sewenang-wenang dan absah jika mendapat persetujuan masyarakat. Keabsahan atau legitimasi tersebut bisa dicapai, misalnya, melalui pemilihan umum yang dilakukan secara berkala untuk menentukan tokoh dan pemimpin yang menduduki jabatan-jabatan publik dengan wewenang yang besar. Kewarganegaraan juga mengharuskan adanya partisipasi. Maksudnya proses pembuatan kebijakan-kebijakan bersama yang bersifat otoritatif harus dibuka bagi keterlibatan semua warga dan mempertimbangkan preferensi-preferensi yang berkembang di tengah masyarakat.
Negara berdasarkan konstitusi (constitutional state) adalah prinsip mendasar lainnya. Negara jenis ini adalah negara yang kekuasaannya dibatasi oleh hukum dan perundang-undangan (rule of law)—dengan asumsi hukum dan perundang-undangan tersebut dibuat dalam proses yang melibatkan masyarakat luas dan ditujukan untuk melindungi hak dan kebebasan sipil. Selain itu kekuasaan negara juga perlu dipisah-pisahkan (separation of power) untuk mencegah munculnya tirani dan sistem politik yang absolut. Paling kurang wewenang untuk membuat kebijakan dan aturan main (legislative), melaksanakan (excecutive) dan mengadilinya (judicative) harus berada di tangan tiga lembaga yang berbeda.
Tapi ancaman terhadap hak dan kebebasan setiap warga tidak selamanya bersumber dari kekuasaan negara yang tidak terbatas. Uniknya, suara mayoritas (majority rule) yang selalu diidentikkan dengan demokrasi itu sendiri berpotensi melahirkan tirani—yakni tirani mayoritas—ketika hak-hak minoritas dan kepentingan-kepentingan khusus yang berkaitan dengan kelompok-kelompok tertentu terabaikan dan tidak terakomodasi secara memadai. Karena itu bagi masyarakat yang memberikan penghargaan tinggi pada kebebasan pluralisme merupakan prinsip yang tidak bisa ditawar. Sertidaknya pluralisme bisa dilihat dengan dua cara. Pertama, pengakuan terhadap keberagaman, cara berpikir, kepercayaan politik dan ideologi. Pluralisme pada level ini memerlukan toleransi, yakni penghormatan terhadap keberagaman tersebut. Kedua, pengakuan terhadap pentingnya perimbangan kekuasaan antara kelompok-kelompok yang berbeda di masyarakat. Di sini pluralisme menghendaki distribusi sumber daya yang merata. Pada masyarakat yang memiliki keberagaman kultural pengakuan dan penghormatan terhadap perbedan atnis dan agama sama penting nilainya dengan pluralisme. Tak heran jika lebih dari sekedar fakta sosial, multikulturalisme juga bisa dianggap sebagai prinsip dasar yang melindungi dan menjamin hak dan kebebasan setiap warga.
Model demokrasi yang baru dibicarakan di atas berkembang di masyarakat yang melihat kebebasan sejalan dengan hak-hak alamiah (natural rights) yang dimiliki manusia sejak lahir. Memperjuangkan kebebasan karenanya hampir tak ada bedanya dengan upaya memuliakan kemanusiaan. Tapi tidak semua orang yang mengagungkan kebebasan memaknainya dalam kerangka hak-hak dasar. Di masyarakat lain kebebasan dikaitkan dengan kepentingan pribadi. Menurut masyarakat ini manusia pada dasarnya adalah makhluk yang selalu berusaha keras memuaskan keinginan-keinginannya dan menghindari segala bentuk penderitaan. Kebebasan sipil menjadi tak terelakkan sebab tanpa itu manusia tidak akan mampu memenuhi naluri mengejar kepuasaan pribadi, terutama dalam bentuk pemenuhan kesejahteraan material. Di sini demokrasi dipandang dengan cara yang sedikit berbeda dari model sebelumnya. Masyarakat memerlukan demokrasi bukan semata untuk melindungi dan menjamin kebebebasan. Tapi yang juga tidak kalah pentingnya adalah demokrasi memungkinkan setiap orang mensejahterakan dirinya.
Masyarakat ini percaya setiap individu mengetahui cara yang paling baik untuk memuaskan kepentingan pribadi. Sepanjang setiap orang diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mensejahterakan dirinya kemakmuran masyarakat secara keseluruhan akan datang dengan sendirinya. Pasar adalah mekanisme alamiah yang mengemban dua fungsi penting bagi masyarakat. Pertama, mekanisme pasar memungkinkan pemuasan kepentingan pribadi tidak berakhir dengan perang antar sesama. Kedua, mekanisme pasar juga mengkoordinasikan keputusan-keputusan pribadi dan mengolahnya menjadi keputusan kolektif tanpa harus menerapkan sebuah otoritas politik yang justeru bisa mengancam kebebasan sipil. Tapi pasar hanya bisa berfungsi jika tidak terdapat ancaman dan tekanan dari satu individu atas individu lainnya. Pasar juga akan gagal beroperasi dengan sempurna jika terdapat satu atau beberapa individu yang memiliki kekuasaan yang terlalu besar karena monopolinya atas beberapa sumber daya.
Demokrasi diperlukan untuk memungkinkan pasar beroperasi tanpa distorsi. Tugas mendasar demokrasi adalah menegakkan hukum dan ketertiban. Hukum dan ketertiban diantaranya menjamin hak pemilikan pribadi, menindak pelanggaran terhadap hak tersebut dan mencegah dominasi individu atau kelompok tertentu. Demokrasi juga bertugas untuk melahirkan otoritas politik yang sejalan dengan kepentingan bekerjanya pasar. Otoritas yang baik dari sudut pandang kepentingan pasar misalnya harus bersih dari korupsi dan manipulasi, berpedoman pada kaidah-kaidah transparansi dan akuntabilitas publik dalam membuat kebijakan dan tunduk pada aturan main. Tapi demokrasi tidak dibenarkan mencampuri urusan mengejar kepentingan pribadi, kesejahteraan setiap individu dan kemakmuran masyarakat. Intervensi demokrasi terhadap urusan-urusan tersebut diyakini justeru merupakan ancaman besar terhadap mekanisme pasar. Tak heran jika prinsip penting demokrasi dalam masyarakat ini adalah pemisahan kekuasaan antara demokrasi yang mengurusi wilayah publik (wilayah hukum dan ketertiban) dan pasar yang mengurusi wilayah privat (wilayah pemuasan kepentingan pribadi).
Akhirnya ada masyarakat yang memilih keadilan (justice) sebagai nilai bersama yang paling didambakan. Biasanya masyarakat semacam ini mewarisi struktur sosial yang senjang, tingkat eksploitasi ekonomi yang tinggi dan kemiskinan yang merajalela. Kondisi yang demikian bukan saja melahirkan “ketidaksamaan” (inequality) tapi juga menyulitkan terwujudnya hak-hak dan kebebasan sipil. Sebagai contoh seorang pekerja boleh saja memiliki kebebasan untuk mengekspresikan tuntutannya. Tapi “ketidaksamaan” sosioekonomi membuat kebebasan tersebut tidak berarti karena pekerja ini sesungguhnya masih berada di bawah dominasi individu dan kelompok sosial yang lebih kuat, yang memiliki akses lebih besar pada sumber daya yang bernilai.
Masyarakat ini memerlukan demokrasi untuk mengakhiri ketimpangan sosial, menyudahi penindasan ekonomi dan menciptakan kesejahteraan. Prinsip utama demokrasi ini adalah keadilan sosial itu sendiri. Tapi upaya menciptakan keadilan sosial bukan soal teknis yang bisa diselesaikan dengan cara dan mekanisme selain demokrasi—seperti mekanisme pasar atau kebijakan-kebijakan teknokratis yang disusun berdasarkan pertimbangan-pertimbangan akademik. Seseorang menjadi miskin, misalnya, bukan semata-mata perkara malas atau kesempatan berusaha yang terlampau terbatas. Dari sudut pandang masyarakat ini orang menjadi miskin karena, pertama-tama, tidak memiliki kekuasaan politik yang memadai untuk memperjuangkan nasibnya dan karena kekuasaan yang lemah itu berkaitan dengan keberadaannya dalam sistem sosial yang menghalangi aksesnya pada sumber-sumber daya yang paling bermakna. Mengatasi ketidakadilan sama artinya dengan demokratisasi, yakni pemulihan kekuatan politik kelompok-kelompok sosial marginal, paling tidak sampai batas yang mampu menyeimbangi kekuatan kelompok-kelompok dominan. Pemulihan kekuatan bukan saja memungkinkan kelompok marginal memperjuangkan hidup yang lebih baik tapi juga mampu mebuat kelompok tersebut menolak struktur sosial yang menjadi basis ketidakadilan.
Perimbangan kekuatan antara kelompok-kelompok sosial utama di masyarakat—terutama antara kelompok yang terpinggirkan dan kelompok yang memiliki banyak hak istimewa secara sosioekonomi—menjadi tak terelakkan. Perimbangan ini menjamin terciptanya persamaan (equality) sebagai prinsip penting lainnya. Mulanya inklusi politik bagi kelompok-kelompok marginal seperti perluasan hak pilih bagi kelompok-kelompok yang rentan terhadap penindasan—pekerja, perempuan dan minoritas—menjadi resep yang cukup manjur bagi perubahan perimbangan kekuatan. Perluasan partisipasi bagi kelompok-kelompok pinggiran kemudian juga mencakup wilayah non-politik, seperti pembukaan akses bagi keterlibatan buruh dalam merumuskan kebijakan perusahan. Bahkan dalam bentuk yang paling radikal penerapan prinsip persamaan dalam konteks perusahan ini bisa berarti perubahan struktur kepemilikan perusahan itu sendiri menjadi kepemilikan kolektif, yang dikelola baik secara langsung oleh semua orang yang berkepentingan dengan produksi perusahan tersebut atau secara tidak langsung melalui lembaga publik seperti negara.
0 komentar:
Posting Komentar