UUPA 1960: benteng hukum satu-satunya dan terakhir untuk Land Reform yang Pro kepada Keadilan Sosial
• Produk hukum terbaik untuk mewujudkan keadilan sosial di Indonesia setelah kemerdekaan (McAuslan, 1986)
• Prnsip-prinsip dalam UUPA 1960: nasionalisme; tanah dan sumber-sumber agrarian lainnya memiliki fungsi sosial – bukan
komersial; anti terhadap eksploitasi manusia (exploitation de l’homme par l’homme)dan monopoli; land reform populis; dan perencanaan agraria
• Pendaftaran Tanah adalah bagian dari (satu langkah di dalam) pelaksanaan land reform, khususnya untuk mengidentifikasi tanah-tanah kelebihan batas maksimal dan tanah-tanah
absentee
• Pendaftaraan tanah berpegang pada prinsip stelsel-aktif (active-stelsel)
Kerusuhan Politik 1965-1966
• Perubahan rejim politik rejim otoriter Soeharto mengambil alih kekuasaan negara
• Pembantaian manusia jutaan orang terbunuh, kebanyakan merupakan penduduk desa dan petani, aktivitas kelompok-kelompok kiri dan kritis
dilarang
• Land reform yang populis dihentikan secara Sistematik
Tahun 1967 sebagai Titik Balik
• Developmentalisme untuk mengintegrasikan perekonomian dan masyarakat Indonesia pada kapitalisme global
• Tanah ditempatkan sebagai satu sektor dalam pembangunan ekonomi, dan pendaftaran tanah sepenuhnya hanya merupakan persoalan administratif
• Penciptaan ‘sektoralisme’ hukum, seperti UU Kehutanan, Pertambangan untuk memfasilitasi eksploitasi sumber daya alam dalam skala besar dan menegasi hak-hak orang setempat atas tanah
• Tanah dengan sengaja diubah fungsinya menjadi komoditas, tetapi konsep fungsi sosial dari tanah selalu digunakan untuk melegitimasi aktivitas penggusuran-penggusuran
• Konsep “State-led land transfer” digunakan oleh rejim otoriter dan birokrasi pencari rente menjadi dasar dari konflik-konflik agraria dan mal-administrasi (manipulasi dan korupsi; pengingkaran land reform sebagaimna dimandatkan oleh UU)
• Distribusi penguasaan tanah yang tidak adil semakin diperkuat, bukan diselesaikan, hingga konflik-konflik agraria meluas
• Land reform menghilang dari berbagai bentuk wacana publikPertengahan 80an – Pertengahan 90an: Pembentukan Fondasi sosial dan ekonomi bagi kebijakan pasar tanah
• De-regulasi ekonomi untuk memfasilitasi lebih banyak investasi dan penyedotan kekayaan alam maupun pengalihan hak atas tanah
• Penggusuran tanah secara masif untuk “pembangunan eonomi” dan ekstraksi sumber daya alam
• Investor, asosiasi-asosiasi bisnis, dan lembaga-lembaga keuangan multi-lateral memulai kampanye: ekonomi biaya tinggi untuk investasi di Indonesia, adanya ketidakpastian hukum penguasaan tanah (terlalu banyak konflik, protes, dan klaim-kalim yang tumpang tindih)
• Munculnya gagasn untuk mengganti atau merevisi UUPA 1960 dengan hukum pertanahan/agraria yang lebih bersahabat dengan pasar; dan gagasan tanah sebagai komoditas secara formal diluncurkanolehpemerintahRI dibawah asistensi Bank DuniaLand Administration Project (LAP)
• LAP dipromosikan oleh Bank Dunia pada awal tahun 1990-an
• Tujuannya: untuk mengembangkan dasar-dasar sosial dan kebijakan bagi mekanisme/operasi pasar tanah yang bebas (free land market)
• Fase-I dari LAP (1995-2000) dibiayai melalui hutang Bank Dunia (US$ 44.9 M), grant dari AusAid (US$ 15.2 M), dan dana lain yang bersumber dari kas negara (sumber lokal/domestik)
• Proyek ini memiliki 3 bagian: (1) registration tanah – baik secara sistematik maupun sporadik – yang dsebut dengan “project Part-A”;
(2) studi mengenai pendaftaran tanah-tanah komunal – disebut “project Part-B”; dan (3) review kebijakan pertanahan – disebut dengan “project Part-C”
• Target utama LAP Part C adalah: (1) mengembangkan suatu sistem hukum agraria yang terintegrasi dalam jalur orientasi pasar dan investasi bebas; (2) untuk mengubah UU agraria yang populis (: UUPA 1960)Satu poin penting dari laporan LAP Part-C “UUPA 1960 memiliki masalah-masalah yang mendasar, yang tidak diselesaikan, yang berimplikasi pada sejumlah pertanyaan serius mengenai relevansinya dengan situasi modern... Keterbatasan UUPA lainnya adalah rumusannya yang sangat spesifik pada hubungan antara agraria dan pembangunan. Hal ini tercermin dalam sejumlah pengaturan seperti kewajiban pemilik tanah untuk menggarap atau menggunakan sendiri tanah-tanahnya (menolak konsep absenteeisme), pembatasan penguasaan tanah, dan hak-
hak khusus untuk aktivitas pertanian. Adanya perhatian khusus kepada aktivitas pertanian telah menciptakan banyak masalah manakala UU ini diterapkan kepada berbagai kepentingan non-pertanian, seperti: industrialisasi, investasi asing, dan proyek-proyek pembangunan lainnya dalam konteks perdagangan bebas di era globalisasi saat ini” (National Development Planning Agency and National Land Agency. 1997. Executive Summary of Final Report and Policy Matrix: Land Policy Reform in Indonesia, a Topic Cycle 4 of LAP-Part C, pp.RE – 2-3)Land Management and Planning Development Project (LMPD) dan Fase-II dari LAP
• Walaupun memperoleh berbagai tentangan dan protes, proyek LAP Fase-I terus berlanjut hingga tahun 2000 dengan hasil-hasil yang jauh dari target
• Kenyataannya, kemudian ada persoalan politik untuk melanjutkan proyek ini ke fase berikutnya sebagai bagian dari akibat pergantian rejim penguasa setelah Soeharto jatuh tahun 1998
• Ketika Gus Dur menjadi presiden di tahun 1999, Bank Dunia dan BPN sebagai agen utama pelaksana proyek mempromosikan kelanjutan proyek ini. Tetapi menteri keuangan Gus Dur saat itu tidak memberi persetujuan penambahan utang luar negeri; dan Gus Dur sedang berencana untuk melikuidasi BPN dalam rangka menerapkan
desentralisasi pemerintahan sepenuhnya
• Bank Dunia kemudian menggunakan strategi lain untuk melanjutkn proyek dengan menciptakan “proyek antara” yang disebut dengan LMPDP. Mereka menciptakan suat saluran untuk membiayai proyek ini dengan menggunakan skema grant (hibah) dari JICA
Serbuan Kebijakan Pertanahan Indonesia
Beberapa Kebijakan yang berkaitan dengan Tanah
dan Agraria yang sudah Pro pada Rejim Pasar dan Investasi Bebas (the Free Market and Investment Regime)
• UU Perkebunan 2003 Æ memperkuat keberadaan dan operasi perkebunan besar dan mengijinkan perluasan bagi kegiatan ekstraktifnya
• UU Sumber Daya Air 2003 Æ mengijinkan penguasaan sumber daya air oleh perusahaan-perusahaan komersial
• UU Darurat No. 1/2004 yang mengijinkan operasi pertambangan besar di wilayah-wilayah kawasan hutan lindung
• Suatu drfat dari UU Pertambangan yang baru sedang disusun untuk memperkuat eksploitasi tambang dlam skala besar di bawah pengaturan kontraktual (dibebaskan dari pembatalan/pencabutan ijin oleh pemerintah meskipun melakukan operasi yang merugikan) Status UUPA 1960 untuk sementara “aman” setelah Joyo Winoto (Kepala BPN yang baru) meyakinkan DPR yang sudah mengantongi draft revisi UUPA untuk tiak melanjutkan upayanya. Joyo menjanjikan akan memberikan usulan drfat UU Pertanahan sebagai aturan pelaksana dari UUPA 1960
Rejim Politik yang Baru yang Pro sepenuhnya pada Pasar
• Dipimpin oleh SBY-MJK dengan sejumlah pelaku bisnis yang menjadi politisis yang duduk di parlemen, dan menjadi pimpinan partai politik
• Melaksanakan Infrastructure Summit 2005 yang memberikan jaminan kepada pelaku bisnis dan investor untuk beroperasi di Indonesia dengan suatu kebijakan baru di bidang pertanahan untuk lebih menjamin adanya kepastian hukum Æ berjanji untuk menciptakan
lebih dari 14 peraturan baru untuk memfasilitasi pembentukan arena baru bagi investasi bebas di Indonesia; salah satunya dimulai dengan menerbitkan Kepres No. 36/2005 yang mengijinkan penggusuran tanah untuk kepentingan “pembangunan infrastruktur”
• Saat ini banyak aktor dan kekuatan gerakan sosial – termasuk organisasi-organisasi tani – yang terjebak untuk masuk dan terlibat dalam “mengamankan” Program Pembaruan Agraria Nasional yang digagas oleh SBY, yang sesungguhnya adalah suatu Reforma Agraria Palsu!!!!
Refleksi
• Banyak usaha yang telah dilakukan (advokasi kebijakan dan protes) untuk menentang dan menghentikan berbagai kebijakan “negara neo-liberal” dan kekuatan-kekuatan neolibral lainnya, tetapi tidak membuahkan hasil yang optimal. Kekuatan neoliberal terus melaju dan betambah kuat dan memberikan ancaman semakin besar bagi masa depan dan kesejahteraan rakyat kecil
• Hanya ada dua cara bagi gerakan sosial untuk menahan kecenderungan ini: menguasai dan mengambil alih sumber-sumber kekuasaan di tingkat lokal (misalnya: aksi pendudukan tanah secara kolektif); dan mengambil alih kekuasaan negara di semua tataran!